Link and Match dalam Pendidikan
Abstrak
Konsep Link and Match (keterkaitan dan
kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan antara lembaga pendidikan dengan
dunia kerja, atau dengan kata lain Link and Match ini adalah keterkaitan antara
pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Dengan adanya keterkaitan ini maka
pendidikan sebaagi pemasok tenaga kerja dapat mengadakan hubunga-hubungan dengan
dunia usaha/industri. Dengan link dan match ini suatu lembaga khususnya
Perguruan Tinggi bisa mengadakan kerja sama dengan pihak lain khususnya dengan
perusahaan atau industri agar mahasiswa bisa magang di perusahaan tersebut.
Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. dengan adanya Link
and Match tersebut Perguruan Tinggi dapat mengetahui kompentensi (keahlian) apa
yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak
dibutuhkan dunia kerja. Selain itu, Perguruan Tinggi juga akan dapat
memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia
kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan. Dan yang lebih penting Perguruan
Tinfgi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar
bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus.
Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak
hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik. Adapun pendekatan yang
digunakan untuk mewujudkan Link and Match adalah pendekatan social dan
pendekatan ketenagakerjaan. Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang
didasarkan atas keperluan masyarakat yang mana pendekatan ini menitik beratkan
pada tujuan pendidikan dan pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan.
pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan
dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan
untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit
dan orang tua secara bebas. Pendekatan ketenagakerjaan merupakan pendekatan
yang mengutamakan kepada keterkaitan luusan sistem pendidikan dengan tuntutan
terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang akan
dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan
memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat
diperbaiki.
Pendahuluan
Dewasa ini banyak lontaran kritik
terhadap sistem pendidikan
yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung
telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada
bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja.
Kritik ini tentu saja beralasan karena data sensus penduduk memperhatikan
kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga penganggur lulusan
pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar dibandingkan dengan proporsi
penganggur dari lulusan yang lebih rendah (Ace Suryadi, 1993: 134). Dengan kata
lain persentase jumlah penganggur tenaga sarjana lebih besar dibandingkan
dengan persentase jumlah pengganggur lulusan SMA atau jenjang pendidikan yang
lebih rendah.
Namun, kritik tersebut juga belum benar
seluruhnya karena cara berfikir yang digunakan dalam memberikan tafsiran
terhadap data empiris tersebut cenderung menyesatkan. Cara berfikir yang
sekarang berlaku seolah-olah hanya memperhatikan pendidikan sebagai
satu-satunya variabel yang menjelaskan masalah pengangguran. Cara berfikir
seperti cukup berbahaya, bukan hanya berakibat pada penyudutan sistem
pendidikan, tetapi juga cenderung menjadikan pengangguran sebagai masalah yang
selamanya tidak dapat terpecahkan.
Berdasarkan keadaan tersebut, penjelasan
secara konseptual terhadap masalah-masalah pengangguran tenaga terdidik yang
dewasa ini banyak disoroti oleh masyarakat, sangat diperlukan. Penjelasan yang
bersifat konseptual diharapkan mampu mendudukkan permasalahan pada proporsi
yang sebenarnya, khususnya tentang fungsi dan kedudukan sistem pendidikan dalam
kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan.
Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, maka diperlukan adanya pendekatan-pendektan tertentu dalam pendidikan dan konsep Link and Match perlu dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan.
Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, maka diperlukan adanya pendekatan-pendektan tertentu dalam pendidikan dan konsep Link and Match perlu dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan.
Landasan
Teori
A. Pengertian
pengangguran
Pengertian
penganguran adalah sebutan untuk suatu keadaan di mana masyarakat tidak
bekerja. Menganggur adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dalam kurun
waktu seminggu sebelum pencacahan dan sedang berusaha mencari pekerjaan dan ini
mencangkup mereka yang sedang menunggu panggilan terhadap lamaran kerja yang di
ajukan atau sedang tidak mencari kerja karena beranggapan tidak ada kesempatan
kerja yang tersedia untuk dirinya walaupun dia sanggup.
B. Keadaan
Masalah pengangguran
Di
Negara-negara berkembang seperti Indonesia, dalam pembangunan ekonomi di Negara
seperti ini pengangguran yang semakin bertambah jumlahnya merupakan masalah
yang lebih rumit dan lebih serius daripada masalah perubahan dalam distribusi
pendapatan yang kurang menguntungkan penduduk yang berpendapatan terendah.
Keadaan di Negara-negara berkembang dalam beberapa dasawarsa ini menunjukan
bahwa pembangunan ekonomi yang telah tercipta tidak sanggup mengadakan
kesempatan kerja yang lebih cepat daripada pertambahan penduduk yang berlaku.
Oleh karenanya, masalah pengangguran yang mereka hadapi dari tahun ke tahun
semakin bertambah serius. Lebih malang lagi, di beberapa Negara miskin bukan
saja jumlah pengangguran menjadi bertambah besar, tetapi juga proporsi mereka dari
keseluruhan tenaga kerja telah menjadi bertambah tinggi.Kebanyakan investor
asing tidak mau menanamkan modalnya di Indonesia karena biaya ekonominya sangat
tinggi akibat masih kuatnya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
C. Jenis
pengangguran
1.
Jenis pengangguran berdasarkan
penyebabnya :
a. Pengangguran
Normal atau Friksional yaitu pengangguran sebanyak dua atau tiga persen dari
tenaga kerja. Para pengangguran ini tidak ada pekerjaan bukan karena tidak
dapat memperoleh kerja, tetapi karena sedang mencari kerja yang lebih baik.
Dalam proses mencari kerja baru ini untuk sementara para pekerja tergolong
sebagai penganggur.
b. Pengangguran
Siklikal , misalnya : di Negara-negara produsen bahan mentah
pertanian,penurunan ini mungkin di sebabkan kemrosotan harga – harga komoditas.
Kemrosotan ini mengakibatkan perusahaan – perusahaan mengurangi pekerja atau
menutup perusahaannya.
c. Pengangguran
Stuktural, di sebabkan oleh perubahan struktur kegiatan ekonomi . Wujudnya
barang baru yang lebih baik,kemajuan teknologi mengurangi permintaan atas
barang tersebut, biaya pengeluaran sudah sangat tinggi dan tidak mampu
bersaing, dan ekspor produksi industri itu sangat menurun oleh karena
persaingan yang lebih serius dari Negara- Negara lain. Kemerosotan itu akan menyebabkan
kegiatan produksi dalam industry tersebut menurun, dan sebagian pekerja
terpaksa di berhentikan dan menjadi penganggur.
d. Pengangguran
teknologi, di sebabkan oleh penggantian tenaga manusia oleh mesin-mesin dan
bahan kimia. Di pabrik-pabrik ada kalanya robot telah menggantikan pekerjaan
manusia.
2.
Jenis pengangguran berdasarkan cirinya :
a. Pengangguran
Terbuka, Pengangguran ini tercipta sebagai akibat pertambahan lowongan kerja
yang lebih rendah dari pada bertambahan tenaga kerja.
b. Pengangguran
Tersembunyi, Pengangguran ini pada umumnya terjadi di sector pertanian atau
jasa. Contohnya banyak Negara berkembang terjadi bahwa jumlah pekerja dalam
suatu kegiatan ekonomi adalah lebih banyak dari yang sebenarnya di perlukan
supaya dia dapat menjalankan kegiatannya secara efisien. Misalnya pelayan
retoran yang lebih banyak dari yang di perlukan.
c. Pengangguran
bermusim, Pengangguran ini terutama terdapat di sector pertanian atau
perikanan. Pada musim hujan penyadap karet dan nelayan tidak dapat melakukan
pekerjaan mereka dan terpaksa menganggur. Apabila dalam masa di atas para
penyadap karet dan nelayan tidak dapat pekerjaan lain maka terpaksa menganggur.
d. Setengah
Menganggur, di sebabkan karena jam kerja mereka adalah jauh lebih rendah dari
yang normal. Mereka mungkin hanya bekerja satu hingga dua hari dalam seminggu
atau satu hingga empat jam sehari.
D. Tindakan
Pemerintah
Tindakan pemerintah dalam mengatasi
pengangguran antara lain :
a. mengurangi
pajak
b.
mendorong lebih banyak investasi membari
subsidi
c.
Meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat
d.
Memperbaiki pembagian pendapatan
e.
Menghindari masalah kejahatan
f. Menambah
keterampilan masyarakat
Pembahasan
A. Konsep
link and match
Pada
mulanya, sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang, pendidikan
dijalnkan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak
petani langsung mempelajri pertanian dengan langsung bekerja di sawah,
anak-anak nelayan langsung mempelajari kelautan dan perikanan langsung
mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang
dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma
yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka pendidikan
pada dasarnya merupakan sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak direncanakan
tetapi langsung berhubungan dengan keperluan hidup. Dengan kata lain, dalam
situasi yang belum mengenal sistem sekolah, sifat pendidikan pada dasarnya
sesalu bersifat linked and matched.
Konsep
Link and Match telah dikumandangkan sejak tahun 1990-an. Saat itu wacana yang
muncul Perguruan Tinggi hanya sekedar menyiapkan lulusan yang siap training,
siap dimodifikasi, dan siap ditambahkan ilmu. Padahal tuntutan para pengguna
lulusan Perguruan Tinggi adalah siap pakai, siap bekerja, dan sebagainya.
Intinya industri tidak ingin hanya sekedar terkena beban kembali, dengan biaya
yang cukup tinggi, untuk selain memberi gaji pada karyawan juga harus
mengeluarkan dana yang cukup besar untuk kembali melatih.
Memang
perdebatan pun sengit terjadi banyak pihak yang berkomentar, konsep menyiapkan
lulusan Perguruan Tinggi siap bekerja adalah nonsen dan tak mungkin terjadi.
Dari pihak Perguruan Tinggi ternama pastilah tetap dengan gaya lama, yaitu
menyiapkan para mahasiswa untuk setelah lulus, siap mengembangkan ilmunya dan
mudah mengikuti keinginan pengguna untuk dilatih secara praktis. Kesannya
bekerja adalah kegiatan amat teknis dan praktis saja. Padahal bekerja ada
beberapa level mulai dari sangat teknis (mengetik, mengarsip, dll) hingga level
strategis bagaimana membangun pasar, menciptakan image bahwa produk yang
dihasilkan adalah sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Konsep
keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match) antara dunia pendidikan dan dunia
kerja yang dicetuskan mantan MenDikNas Prof. Dr. Wardiman perlu dihidupkan
lagi. Konsep itu bisa menekan jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi yang
dari ke hari makin bertambah.
Selanjutnya
Soemarso, Ketua Dewan Pembina Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa
konsep Link and Match antara lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal.
Jadi, ada keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut
Soemarso, dengan adanya hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat
menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match
dengan program magang. Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga
mendapatkan manfaat. Selama ini ada kesan yang mendapatkan manfaat dari magang
adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan industri kebagian repotnya.
Di
sisi lain, produk dari Perguruan Tinggi menghasilkan sesuatu yang amat berharga
dan bukan hanya sekedar kertas tanpa makna, yaitu produk kepakaran, produk
pemikiran dan kerja laboratorium. Produk-produk ini masih sangat jarang dilirik
oleh industri di Indonesia. Produk kepakaran yang sering dipakai adalah yang
bersifat konsultatif. Tetapi produk hasil laboratorium belum di akomodasi
dengan baik.
Menjalankan
Link and Match bukanlah hal yang sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga
komponen yang harus bergerak simultan untuk menyukseskan program Link and Match
yaitu perguruan tinggi, dunia kerja (perusahaan) dan pemerintah. Dari ketiga
komponen tersebut, peran perguruan tinggi merupakan keharusan dan syarat
terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi
faktor penentu bagi sukses tidaknya program tersebut.
Ada
beberapa langkah penting yang harus dilakukan suatu perguruan tinggi untuk
menyukseskan program Link and Match. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset
ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk mengetahui kompentensi (keahlian) apa
yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak
dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan salah satu
perguruan tinggi di Indonesia diketahui, keahlian (kompentensi) yang paling
banyak dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan komputasi (komputer),
berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan kemampuan akuntansi. Selain itu,
perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi dan mengantisipasi keahlian
(kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke
depan.
Seharusnya
perguruan tinggi mulai menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja
sebagai materi kuliah di kampusnya. Dengan demikian, diharapkan, lulusan
perguruan tinggi sudah mengetahui, minimal secara teori, tentang kompetensi apa
yang dibutuhkan setelah mereka lulus. Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak
harus menyesuaikan seluruh materi kuliahnya dengan kebutuhan dunia kerja.
Sebab, harus ada materi kuliah yang berguna bagi mahasiswa yang ingin
melanjutkan studi ke jenjang strata yang lebih tinggi.
Langkah
penting lainnya, perguruan tinggi harus menjalin relasi dan menciptakan link
dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang)
bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia
kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara
praktik.
Jika
program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga diuntungkan dengan
berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogianya pemerintah
secara serius menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari
perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini
berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak.
Manfaat
yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat besar. Karena itu,
diharapkan semua stake holders dunia pendidikan bersedia membuka mata dan diri
dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya. Perguruan tinggi harus lapang dada
menerima bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja sebagai
materi kuliah utama. Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi
mahasiswa perguruan tinggi yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut.
Sedangkan Pemerintah harus serius dan tidak semata memandang program Link and
Match (keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek belaka.
Secara tradisional teori kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional pokok: kognitif, afektif dan psikomotorik. Banyak orang berpendapat bahwa sisi afektif dari pendidikan adalah yang paling penting. Seperti ditekankan oleh Paola friere, suatu konsep pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti rekening bank tidak berlaku atau sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan orang bahwa kemampuan berfikir dan menentukan identitas diri sekarang ini jauh lebih penting. Pendidikan dan pelajaran adalah proses bukan produk akhir. Ivan Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh mengijinkan pendidikan formal mengganggu proses belajar terus menerus. Tidak selayaknya orang berhenti dari proses belajar sesudah pendidikan formal selesai.
Secara tradisional teori kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional pokok: kognitif, afektif dan psikomotorik. Banyak orang berpendapat bahwa sisi afektif dari pendidikan adalah yang paling penting. Seperti ditekankan oleh Paola friere, suatu konsep pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti rekening bank tidak berlaku atau sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan orang bahwa kemampuan berfikir dan menentukan identitas diri sekarang ini jauh lebih penting. Pendidikan dan pelajaran adalah proses bukan produk akhir. Ivan Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh mengijinkan pendidikan formal mengganggu proses belajar terus menerus. Tidak selayaknya orang berhenti dari proses belajar sesudah pendidikan formal selesai.
B.
Pendekatan dalam Mewujudkan Link and Match
1.
Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial
merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat pada saat ini.
Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pada pemerataan
kesempatan dalam mendapatkan pendidikan.7 Menurut A.W. Gurugen pendekatan
sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan
menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk
memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan
orang tua secara bebas. Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah
diterapkannya sistem ganda melalui kebijakan Link and Match.
Menurut Bohar
Soeharto perencanaan sosial adalah proses cara menjelaskan dan memecahkan
masalah yang berhubungan dengan masyarakat atau berhubungan dengan aspek sosial
dari kehidupan individu untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
Pendekatan yang
dikemukakan Geruge ini bersifat tradisional dimana penekanan ini didasarkan
kepada tujuan untuk memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap
pendidikan pada tempat dan waktu tertentu dalam situasi perekonomian, politik,
dan kebudayaan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor pendidikan
harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampuk
seluuruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan.
Pendekatan sosial
dalam perencanaan pendidikan sebagaimana dimaksud diatas, pernah dituang secara
tepat dalam Robbins Comunitte on Higher Education di Inggris pada tahun 1963
dengan alasan pemilihan pendektan ini bahwa: ”all young person qualified by
ability and attaint ment to pursue a full time course in higher education should
have the opportunity to do so”. Selanjutnya dalam pendekatan ini ada beberapa
kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Pendekatan ini mengabaiakan masalah alokasi dalam skala
nasional, dan secara samar tidak mempermasalahkan besarnya sumber daya
pendidikan yang dibutuhkan arena beranggapan bahwa penggunaan sumberdaya
pendidikan yang terbaik adalah untuk segenap rakyat Indonesia.
b.
Pendekatan ini mengabaiakn kebutuhan ketenagakerjaan
(man power planning) yang diperlukan dimasyarakat sehingga dapat menghasilkan
lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan masyarakat.
c.
Pendekatan ini cenderung hanya menjawab pemerataan
pendidikan saja sehingga kuantitas lebih diutamakan dari pada kualitanya.
2.
Pendekatan Ketenagakerjaan
Pendekatan yang
dipakai dalam penyusunan perencanaan pendidikan suatu negara sangat tergantung
kepada kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan. Karenanya wajar jikalau
timbul pendekatan yang berbeda-beda antara beberapa negara dan juga terjadi
perbedaan dalam pendekatan perencanaan antara berbagai periode pembangunan
dalam satu negara. Dalam kebijakan pemerintah (sebut saja kebijakan lima
tahunan), disana tergambar secara jelas harapan-harapan yang akan dan harus
dipenuhi oleh sektor pendidikan. Dengan kata lain kebutuhan akan pendidikan
yang akan menjadi sasaran dalam perencanaan selalu dijadikan penuntun atau bisa
dikatakan sebagai kebijakan awal perencanaan.
Di dalam
pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegitan pendidikan diarahkan kepada
usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada tahap permulaan
pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan
dalam berbagai jenis keahlian.
Dalam keadaan ini
kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan mempersiapkan dan menghasilkan
tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan, baik dalam sektor pertanian,
perdagangan, industri dan sebagainya. Untuk itu perencana pendidikan harus
mencoba membuat perkiraan jumlah dan kualitas tenaga kerja dibutuhkan oleh
setiap kegiatan pembangunan nasional.
Dalam hal ini
perencana pendidikan dapat menyakinkan bahwa penyediaan fasilitas dan
pengarahan arus murid benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga
kerja tadi. Akan tetapi metode-metode untuk memperkirakan kebutuhan tenaga
kerja perlu ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan dan kondisi
negara yang bersangkutan. Salah satu metode misalnya bukan hanya sekedar
memperhatikan kebutuhan saja tetapi perlu meneliti berbagai jenis tenaga yang
telatih yang diperlukan oleh negara atas dasar perbandingan atau ratio yang
seimbang, misalnya perbandingan antara insiyur dan teknisi ahli.
Pendidikan
ketenagakerjaan ini sering dipergunakan oleh negara-negara yang sudah
berkembang ataupun negara yang teknologinya sudah maju, dimana setiap waktu
diperlukan jenis keahlian yang baru. Ahli teknologi modern dengan menciptakan
teori dan sistem yang baru dengan sendirinya mendorong teknologi untuk
berkembang secara pesat dan hal ini menyebabkan pula timbulnya kebutuhan akan
tenaga ahli dari jenis yang baru untuk menangani atau mengelolanya.
Pendekatan ketenagakerjaan mencakup sejumlah langkah-langkah yang dapat diperhatikan sederhana dengan bagan berikut:
Pendekatan ketenagakerjaan mencakup sejumlah langkah-langkah yang dapat diperhatikan sederhana dengan bagan berikut:
a.
Pendekatan Ketenagakerjaan
Kebanyakan ahli
ekonomi memilih pendekatan ketenagakerjaan ini, karena berpendirian bahwa
pertumbuhan ekonomi tidak hanya tergantung kepada sumber-sumber alam dan
fasilitas, namun juga sumber tenaga kerja yang mengolah, menggunakan dan
mengelolanya. Pendekatan ketenagakerjaan ini terutama memperhatikan jenis dan
tingkat pendidikan yang dapat langsung menghasilkan tenaga kerja.
Negara-negara yang
mempergunakan pendekatan ketenagakerjaan mengarahkan kegiatan-kegiatan
pendidikannya secara teratur kepada usaha untuk memenuhi tuntutan dunia
lapangan kerja dalam segala bidang. Para ahli ekonomi mengharapkan agar ada
keseimbangan antara penambahan lapangan kerja dengan peningkatan pendapatan
nasionl. Penambahan lapangan kerja akan meningkatkan pendapatan nasional,
pendapatan nasional yang telah ditingkatkan akan memberi peluang untuk
memperluas lapangan kerja. Ini berarti penyerapan tenaga kerja akan lebih
banyak.
Perencana
pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha pendidikan sedemikian rupa
sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan lembaga pendidikan
dapat terjun ke masyarakat dengan suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja
yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikannya harus menghasilkan lulusan
dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai.
Dalam pendekatan
keperluan akan tenaga kerja (manpower approach), jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan dihitung dari jumlah pendapatan nasional yang direncanakan atau yang
diperhitungkan akan dicapai. Dengan kata lain, anak didik melalui sistem
pendidikan harus disiapkan menjadi tenaga kerja, dan perencanaan mengenai
keperluan akan tenaga kerja harus diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam
perencanaan ekonomi. Jadi, dal;am merencanakan keprluan tenaga kerja ,
perkembangan ekonomi dimasa depan dianggap sebagai variabel yang independen
karena dianggap sebagai tujuan atau target yang ditetapkan secara tersendiri.
Menurut pendekatan
ini, perhitungan kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan pendidikan yang ditujukan
kearah pembetukan tenaga kerja dianggap sebagai prasyarat bagi pertumbuhan
ekonomi yang secara struktural seimbang dan sebagi prasyarat bagi sistem
pendidikan yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semat-mata dari
pertumbuhan ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga kerja
yang efisien dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia
pada sistem pendidikan.
Cara pendekatan
persoalan pendidikan seperti ini dapatt dikatkan sebagai pendekatan ekonomi
uni-dimensional atau pendekatan pendidikan yang ditujuakan kepada pasaran
kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan pendidikan diperlakukan sebagai pengeluaran
konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi.
a)
Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan
keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga
kerja, didalam pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, dimana ada tiga kelemahan
yang paling utama, yaitu ; Mempunyai peranan yang terbatas dalam perencanaan
pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan keberadaaan sekolah umum karena
hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan
sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
b)
Menggunakan klasifikasi rasio permintaan dan persediaan
c)
Tujuan dari pada pendekatan ini hanyalah untuk
memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi lain tuntutan dunia kerja berubah ubah
sesuai dengan cepatnya perubahan zaman. Blaug dan Faure menyimpulkan bahwa
masalah pengangguran dikalangan terdidik dapat ditekan dengan memperbaiki sistem
dan perencanaan pendidikan yang baik. Perlu kita cermati sebenarnya peningkatan
pengangguran bukan semata-mata kesalahan dunia pendidikan, peningkatan
pengangguran di karenakan sempitnya lapangan kerja, sempitnya lapangan kerja
disebabkan pemerintah yang kurang bisa membuka lapangan kerja yang baru.
Perbaikan sistem
dan perencanaan pendidikan bukan berarti pendidikan harus melahirkan atau
meluluskan lulusan yang siap pakai. Kalau yang dimaksud dengan siap pakai ialah
kemampuan lulusan yang mengenali dan menguasai permasalahan rutin serta mampu
mengaplikasikan ilmunya; maka bukan pada tempatnya hal itu di belajarkan pada
pendidikan formal yang ada sekarang ini.
Perencanaan
pendidikan di Indonesia selain menggunkan pendekatan sosial juga menggunakan
pendekatan ketenagakerjaan. Disadarai dengan benar bahwa tanpa tenaga
pembangunan yang ahli, terampil dan sesuai dengan lapangan kerja tidak mungkin
pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar. Namun dalam kenyataannya
masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha menyusun perencanaan pendidikan
dengan menggunakan pendekatan ketenagakerjaan ini, khususnya di negara
berkembang seperti Indonesia.
Beberapa hambatan
pokok antara lain sebagai berikut:
a)
Belum tersedianya data dan informasi yang memadai untuk
dapat menjawab pertanyaan sehubungan dengan berapa banyak lapangan kerja yang
ada menurut jenisnya; berapa jumlah tenaga kerja menurut pendidikannya yang
dapat diserap; bagaimana pengembangan usaha/lapangan kerja ini di masa
mendatang dan bagaimana proyeksi tenaga kerja yang akan dibutuhkan; dan
sebagainya.
b)
Perencanaan pendidikan, bila ingin menggunakan
pendekatan ketenagakerjaan sangat memerlukan data dan proyeksi kebutuhan tenaga
kerja di masa mendatang. Selain perkiraan akan kebutuhan tenaga kerja, juga masih
diperlukan persyaratan yang jelas mengenai mutu tenaga yang dituntut oleh
pasaran tenaga kerja atau kualifikasi lulusan lembaga pendidikan yang menjadi
persyaratan untuk masing-masing jenis pekerjaaan.
c)
Walaupun sekiranya data dan informasi mengenai ketenagakerjaan
tersedia secara memadai, namun hambatan itu akan tetap masih ada terutama dalam
hal pengadaan tenaga kerja itu sendiri melalui pendidikan formal. Penyebab
utama ialah ketidakmampuan sistem pendidikan nasional untuk mengadakan
penyesuaian dengan berbagai ragam kebutuhan akan keahlian dan kemampuan
lulusannya.
Pemerintah tidak
mungkin secara cepat mempersiapkan berbagai kelembagaan pendidikan untuk
mempersipakan lulusan yang siap pakai memasuki lapangan kerja yang sudah
menunggu. Hal ini bukan disebabkan biaya yang tidak mendukung, tapi lebih dari
itu pengadaan tenaga instruktur yang berkualifikasi baik, pengadaan lat dan
ryang praktek yang memenuhi tuntutan lapangan kerja serta fasilitas lainnya
sungguh memerlukan waktu untuk mewujudkannya. Disamping itu, kurikulum harus
disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Putu
Pendit bahwa “kurikulum harus memenuhi kebutuhan lapangan”. Kurikulum, sebagai
bagian dari pendidikan, bukan semata-mata memenuhi permintaan tenaga kerja di
saat ini. Kurikulum sebagai alat dari pendidikan harus mengandung di dalamnya
upaya menyiapkan peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan yang berlaku
jauh lebih lama daripada perkembangan terakhir atau peristiwa sesaat.
C. Pendidikan
dan Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan
formal merupakan penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi?. Apakah
pengembangan sumber daya manusia selalu dilakukan melalui pendidikan formal?.
Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas
kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi
produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital. Teori
Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas
kerja.
Teori ini merasa yakin
bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu.
Jika setiap individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga
tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital
ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu investasi, baik bagi
individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk
mengukur keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan
menggunakan teknik cost benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan
lain sebagainya.
Namun dalam
kenyataannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human Capital tidak
selalu benar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Cummings bahwa di
Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara
maju dan negara berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya memberikan
kontribusi kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan
formal dibandingkan dengan faktor-faktor luar sekolah.
Teori Human Capital
dianggap tidak berhasil, maka muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap
teori sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa
strukrur masyarakat lebih ampuh dari pada individu dalam mendorong suatu
pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat
untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang lebih
tinggi. Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu
lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas)
yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang
dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem
pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem
pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting,
yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam
pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan
kerja yang tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai
penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak
pembangunan atau sebagai driving force.
Sistem pendidikan
sebagai suatu sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih banyak diilhami oleh
teori Human Capital. Sistem pendidikan memiliki arti penting dalam menjawab
tuntutan lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil dalam berbagai
jenis pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak hanya harus memenuhi
kebutuhan akan suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi, yang lebih penting
ialah jenis-jenis keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia
industri. Teori Human Capital percaya bahwa pendidikan memiliki anggapan
lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan keterampilan tersebut juga sudah
tersedia.
Fungsi pendidikan
sebagai penghasil tenaga penggerak pembangunan (driving force) cenderung lebih
sesuai dengan teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka
cakrawala yang lebih luas bagi tenaga yang dihasilkan, khususnya dalam membuka
lapangan kerja baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga yang mampu
mengembangkan potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa termasuk
cara-cara memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka memperluas
lapangan kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem pendidikan
tidak bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang pada dasarnya
sangat terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial.
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan media yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar.
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan media yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar.
Ketidaksesuain tersebut
mungkin juga dapat dianggap sebagi gejala prmintaan (demand phenomina), yaitu
ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan
itu sendiri, tetapi lapangan kerja juga belum memfungsikan sistem pelatihan
kerja secara optimal. Jika ketidaksesiaian anatra keterampilan kerja dengan
kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand phenomina, sitem pelatihan
kerja juga harus merupakan bagian yang integral di dalam industri atau
perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia industri akan berfungsi
sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah berfungsi sebagai
training ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung merupakan
kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau perusahaan ialah tempat yang paling
tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready trained),
sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu menghasilkan
tenaga potensial atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat dikembangkan
lebih jauh di dunia kerja.
Sekat-sekat yang ada
antara pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seperti yang kita alami dewasa
ini, setidak-tidaknya secara konseptual tidak terjadi dalam masyarakat industri
modern. Diperlukan program yang terintegrasi antara dunia pendidikan dan
pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri. Program-program pelatihan tidak
hanya dilaksanakan di dalam industri, tetapi sistem pendidikan sekolah dan luar
sekolah harus menyelenggarakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan
dunia kerja.
Dalam kaitan ini perlu
ada refungsionalisasi SISDIKNAS yang membuka diri terhadap keterlibatan penuh
dari masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan sistem yang
seperti itu, bukan berarti akan menghilangkan pengangguran, tentu saja masalah
pengangguran akan selalu ada karena berbagai sebab ekonomis ataupun
non-ekonomis namun masalah pengangguran setidaknya dapat diminimalisir.
Fungsi pendidikan
sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat diuji berdasarkan
kemampuannya dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan oleh lapangan
kerja yang telah ada atau yang diperkirakan tersedia dalam suatu sitem ekonomi.
Untuk menguji kemampuan ini diperlukan perbandingan antara persediaan angkatan
kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan dengan kebutuhan
tenaga kerja dalam lapangan kerja yanga ada menurut kategori tingkat pendidikan
pekerja.
Terjadinya kelebihan
persediaan tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih banyak
tersedianya lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor informal pada
saat truktur tenaga kerja telah mulai bergeser ke tingkat pendidikan yang lebih
tinggi. Keadaan ini didukung pila oleh kenyataan bahwa kelebihan persediaan
tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan
yang menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau lulusan Perguruan
Tinggi akan terus bertambah setiap tahun.
Salah satu sebab
kesenjangan supply dan demand pendidikan tinggi ialah kesenjangan antara keinginan
mahasiswa (dan dorongan orang tua serta persepsi masyarakat) dengan kebutuhan
akan tenaga kerja. Mahasiswa lebih menyenangi program studi profesional seperti
ahli hukum dan ekonomi dibanding dengan program teknologi maupun pertanian.
Gejala ini terjadi juga di negara industri maju dan sangat kuat di negara
berkembang. Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak ialah di bidang
industri dan pertanian.
Angka partisipasi dan
bertambahnya lulusan Perguruan Tinggi belum dengan sendirinya meningkatkan
produktivitas kerja karena adanya pengangguran sarjana yang semakin meningkat.
Data pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1).
Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan terjadinya
pengangguran; 2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat
kekurangan tenaga kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung untuk menganggur
dan jumlahnya semakin besar; 40. surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung
berlipat ganda dari tahun ke tahun.
Gambaran mengenai
kesenjangan supply dan demand lulusan pendidikan tinggi kita buka terletak pada
angka absolutnya, karena sebenarnya kita masih kekurangan tenaga lulusan
Perguruan Tinggi. Kekurangan ini masih dipersulit lagi dengan adanya
”mis-match” jenis keahlian yang diproduksi oleh pendidikan tinggi kita.
Menurut Darlaini
Nasution SE ada tiga faktor mendasar yang menjadi penyebab masih tingginya
tingkat pengangguran di Indonesia. Ketiga faktor tersebut adalah,
ketidaksesuaian antara hasil yang dicapai antara pendidikan dengan lapangan
kerja, ketidakseimbangan demand (permintaan) dan supply (penawaran) dan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan masih rendah. Ia
menjelaskan, lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja umumnya tidak
sesuai dengan tingkat pendidikan atau ketrampilan yang dimiliki.
Umumnya perusahaan atau
penyedia lapangan kerja membutuhkan tenaga yang siap pakai, artinya sesuai
dengan pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam kenyataan tidak banyak tenaga
kerja yang siap pakai tersebut. Justru yang banyak adalah tenaga kerja yang
tidak sesuai dengan job yang disediakan.
Kalau kita flasback
pada tahun-tahun yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja pada
tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar
90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup
pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan
jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka
angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah
penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung
adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas
optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di
bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi
hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan
akan lebih melonjak.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap hanya sekitar 1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampauai 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap hanya sekitar 1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampauai 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter.
Ketika menginjak tahun
2000, jumlah pengangguran di tahun 2000
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik.
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik.
Dan kini, pada tahun
2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun menjadi 8,9 persen
dibanding 2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi jumlah pengangguran
maupun kemiskinan, pemerintah perlu melakukan berbagai langkah strategis
seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan itu, pemerintah
harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak
tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut,
terutama karena keterbatasan dana.
Pengangguran
intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik
yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 jumlah pengangguran intelektual
diperkirakan mencapai 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas
dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja
berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja
terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang
sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak
yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu faktor yang
mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau
banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka
kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka
kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di
sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di
sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
Meski ada kecenderungan
pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan
pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh
berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa
mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan
dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang
benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau
bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan
bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton
sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan
dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar.
Di negara kita, saat
ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja
untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau
menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki
kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam
memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para
siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih
kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam
penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir.
Contohnya seperti
seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan
dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan
perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Kenyataan inilah
yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya
manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi
gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya
kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat
pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang
kita tekuni.
Sehingga karena hal
inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan.
Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan.
Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
Sebagai solusi
pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, misalnya setiap
penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan artinya
produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi
semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran
menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan
dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan mikro
(khusus) dapat dijabarkan dalam beberapa poin:
Pertama, pengembangan
mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia
sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan
mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi
sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan
yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat
luas. Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi
yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang
benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan
informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang. Perlu
diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental
kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang,
sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat
diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga
pelatihan yang kompeten untuk itu.
Kedua, melakukan
pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai
prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan
membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan.
Ketiga, segera
membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu
dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan
embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan
Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya.
Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat
dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
Keempat, menyederhanakan
perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat
investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua
perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan
investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan
secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan
lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat.
Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan
bahan non-organik yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku pupuk
organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu
dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk
meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan
menciptakan lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan
suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan
sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga
dapat membimbing dan menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu
mencakup, antara lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras
(hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu
dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung
kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi
lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan
tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh
Pemerintah Pusat dan Daerah. Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup,
gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan
Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri
(BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan
(Training Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang
sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan
tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan,
penyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem
pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu,
Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara
optimal. Pengembangan sistem pendidikan nasional perlu direstrukturisasi.
Perestroika sistem pendidikan tinggi meliputi berbagai aspek, antara lain
keseimbangan program studi dan peningkatan mutu.
Kesembilan, upayakan
untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan
kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan
perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan produksi industri
tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan
lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah
jumlah penganggur.
Kesepuluh, segera
mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan
pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan
Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja
yang produktif dan remuneratif.
Kesimpulan
Konsep
Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan
antara lembaga pendidikan dengan dunia kerja, atau dengan kata lain Link and
Match ini adalah keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya.
Dengan adanya keterkaitan ini maka pendidikan sebaagi pemasok tenaga kerja
dapat mengadakan hubunga-hubungan dengan dunia usaha/industri. Dengan link dan
match ini suatu lembaga khususnya Perguruan Tinggi bisa mengadakan kerja sama
dengan pihak lain khususnya dengan perusahaan atau industri agar mahasiswa bisa
magang di perusahaan tersebut. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke
dunia kerja. dengan adanya Link and Match tersebut Perguruan Tinggi dapat
mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan
kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Selain itu, Perguruan
Tinggi juga akan dapat memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa
yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan. Dan yang
lebih penting Perguruan Tinfgi harus menjalin relasi dan menciptakan link
dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang)
bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia
kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap
secara praktik. Adapun pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan Link and
Match adalah pendekatan social dan pendekatan ketenagakerjaan. Pendekatan
sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat yang mana
pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pemerataan
kesempatan dalam mendapatkan pendidikan. pendekatan sosial merupakan pendekatan
tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan
fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta
memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan orang tua secara bebas. Pendekatan
ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mengutamakan kepada keterkaitan
luusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai
sektor pembangunan dengan tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu
diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik
sehingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki. Pendidikan formal dianggap
sebagai penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, dan titik temu antara
pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi
bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja,
semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat.
Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital yang menerangkan bahwa pendidikan
memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di
dalam meningkatkan produktivitas kerja.
Daftar
Pustaka
nice post gan, numpang nyampah yaak.
BalasHapushttp://serbah-serbih.blogspot.com/
visit back kalo gak keberatan, thx :)