Ekspor rotan
setengah jadi vs industri rotan lokal
Abstrak
Perkembangan rotan Indonesia tidak kunjung
mengarah perbaikan. Data ekspor rotan Indonesia dari tahun ke tahun
mengalami penyusutan. Sekilas balik sejarah awal kemunduran industri rotan
dimulai dari negara Jerman. Kerajinan rotan asal Indonesia masuk ke
benua Eropa diperkenalkan oleh negara-negara eropa seperti Perancis, Inggris
dan Belanda. Para buyers di negara-negara tersebut mengimpor kerajinan rotan
dari negara di kawasan Asia Tenggara. Indonesia salah satu pemasok ekspor
kerajinan rotan terbesar. Prosentase hampir mencapai 80 persen dari total perdagangan internasional. Para buyers memanfaatkan industri
rotan lokal. Para buyers memesan kerajinan rotan dari industri rotan lokal yang
belum bermerek.
Industri rotan lokal menyambut baik penawaran dari
para buyers. Dalam definisi perdagangan industri, istilah produk yang belum
bermerek disebut produk stengah jadi. Karena pesanan dari para buyers begitu
banyak, bermunculan industri rotan di daerah-daerah. Mereka saling bekerja sama
memproduksi kerajinan rotan setengah jadi. Daerah industri rotan tersebut
antara lain Cirebon, Bekasi dan Tangerang.
Jerman merupakan negara yang Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) ditopang oleh barang ekspor. Jerman terkenal dengan kemajuan teknologi di bidang industri yang tinggi
dan canggih. Kerajinan rotan bermerek yang dibuat oleh negara tetangga di benua
Eropa menyerbu pasar dalam negeri Jerman. Jerman membuat proteksi industri
rotan di dalam negeri dengan sistem buka tutup. Tujuannya, industri rotan di
dalam negeri tidak hancur. Jerman berhasil membuat rotan sintetis. Rotan
sintetis ini dapat mensubstitusi kerajinan rotan bermerek asal negara-negara
Eropa. Jerman berhasil menjual rotan sintetis. Konsumen di dalam negeri maupun
luar negeri menerima dengan baik produk rotan sintetis ini. Ekspor rotan
sintetis asal Jerman berkembang terus-menerus.
Titik awal kehancuran kerajinan rotan bermerek asal
negara Eropa dimulai dari sini. Para buyers menghentikan pembelian kerajinan
rotan setengah jadi. Di samping lesunya perdagangan internasional kerajinan
rotan, Indonesia mengalami tekanan internasional dari pemerhati lingkungan.
Pemerhati lingkungan menyerang Indonesia tentang deforestation. Pemerintah
Indonesia mengeluarkan peraturan tentang produk hutan dan hasil hutan. Pelarangan
produk hutan dan hasil hutan dalam bentuk mentah atau setengah jadi
diberlakukan oleh pemerintah.
Ekspor rotan Indonesia mengalami penurunan
terus-menerus. Kerajinan rotan yang berasal dari industri lokal satu persatu
bertumbangan. Kerajinan rotan setengah jadi menumpuk di gudang. Pekebun rotan
di Kalimantan, Sulawesi hanya menumpuk rotan mentah di tempat penampungan.
Tidak ada pengepul yang mau mengambil rotan mentah dari pekebun. Biaya
operasional terlalu mahal dibandingkan dengan penerimaan. Kerajinan rotan dari
industri rotan lokal tidak bisa berproduksi karena bahan baku rotan mentah
terbatas dan harga rotan mentah mahal.
Pemulihan kejayaan ekspor rotan Indonesia seperti dulu
tidak mudah dilakukan oleh pemerintah. Pasar kerajinan rotan Indonesia mengalami
kerusakan yang parah. Jika Indonesia mampu mengembalikan hutan seperti semula,
mungkin konsumen luar negeri mau merespon kerajinan rotan Indonesia dengan
baik. Pemerintah Indonesia harus meyakinkan pada dunia bahwa produk rotan
Indonesia ramah lingkungan. Harapannya, konsumen luar negeri mau membeli
kerajinan rotan Indonesia dengan harga yang kompetitif.
Pendahuluan
Tak
ada rotan akar pun jadi. Peribahasa ini seolah menggambarkan betapa kondisi industri
rotan di Indonesia saat ini sudah mencapai titik yang sangat
memprihatinkan. Betapa tidak, ditengarai terdapat ribuan
jenis rotan di hutan-hutan Indonesia. Indonesia merupakan satu dari sedikit
negara di dunia yang memiliki sumber rotan begitu melimpah. Sayang sekali, rotan
Indonesia masih saja belum menjadi sesuatu yang bisa mendatangkan
banyak manfaat, terutama untuk pelaku industri rotan
sendiri.
Pelaku
industri rotan, terutama petani rotan Indonesia masih saja hidup di bawah garis
kemiskinan. Tentu menjadi sebuah hal yang sangat ironis ketika melimpahnya
sumber rotan Indonesia tak bisa membawa manfaat bagi mereka secara langsung.
Ditengarai, kebijakan pemerintah membuat rotan Indonesia gagal menjadi sumber
manfaat yang maksimal untuk pelaku industri rotan. Kebijakan pemerintah
terhadap industri rotan Indonesia dipandang sebagai penyebab sekaratnya
industri rotal lokal.
Salah
satu kebijakan pemerintah tentang rotan Indonesia yang dipandang bermasalah
adalah kebijakan ekspor rotan setengah jadi. Peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dipandang sebagai sumber masalah utama dalam
industri rotan nusantara. Betapa tidak, guna menggenjot pemasukan dari sektor
non migas, pemerintah menggalakkan ekpor berbagai hasil bumi tanah air dan
ekspor rotan adalah salah satu dari jenis ekspor yang dipandang sangat
potensial mendatangkan banyak pemasukan buat negara. Sayang sekali, kebijakan
tersebut dijalankan secara serampangan di lapangan.
Pemerintah
gagal membatasi ekspor rotan hingga kebijakan yang seharusnya ditujukan untuk
menggairahkan industri rotan nusantara justru berpotensi menjadi kebijakan yang
mengancam kehidupan industri rotan lokal. Pemerintah memang memberlakukan
larangan ekspor rotan setengah jadi ke luar negeri, akan tetapi di sisi lain,
pemerintah juga mengendorkan larangan tersebut dengan memperbolehkan ekspor
beberapa jenis rotan. Dalam Surat Keputusan Memperindag No 355/MPP/Kep/5/2004,
pemerintah mengijinkan ekspor beberapa jenis rotan seperti rotan manau, rotan
irit dan sega.
Kebijakan
ini awalnya dipandang sebagai langkah mendatangkan devisa dengan menjual rotan
tanpa mengancam kelangsungan industri kerajinan rotan di tanah
air. Sayang sekali, pada akhirnya, kelangsungan industri kerajinan rotan,
termasuk mebel justru terancam karena langkanya bahan baku. Kerajinan rotan
sangat membutuhkan pasokan rotan untuk berproduksi sementara produsen rotan
setengah jadi lebih memilih menjual ke pasar luar negeri dengan alasan ekonomi,
perputaran uang yang lebih cepat. Menjual ke pasar lokal membuat mereka harus memutarkan
pasokan rotan mereka ke beberapa industri kerajinan rotan, sementara dengan
mengekspor, rotan dalam jumlah besar akan terjual dalam waktu singkat.
Tak
pelak lagi, industri rotan, dalam hal ini sektor industri kerajinan rotan
terancam kelangkaan bahan baku. Perlahan tapi pasti, tanpa ada sebuah langkah
tegas dari pemerintah, industri rotan di Indonesia akan mengalami kehancuran.
Penjualan rotan setengah jadi secara besar-besaran akan menutup peluang
industri rotan tanah air untuk berkembang. Semakin langkannya industri rotan,
baik kerajinan maupun mebel akan membuat kita (suatu saat) harus mengimpor
sendiri kerajinan rotan dan mebel dari pasar luar negeri. Kesalahan industri
minyak bumi tampaknya mungkin terjadi pada industri rotan kita.
Landasan
Teori
Selama
enam bulan pertama tahun ini, telah terjadi kenaikan ekspor produk rotan
sebanyak 15,31%. Jika pada periode yang sama tahun lalu nilai ekspor produk
rotan hanya mencapai US$ 82 juta, semester I-2012 naik menjadi US$ 97,24 juta.
Kenaikan
itu merupakan efek dari ketentuan ekspor rotan dan produk rotan dalam Peraturan
Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 35/M-DAG/PER/11/2011. Peraturan yang
berlaku efektif pada 1 Januari 2012 itu melarang ekspor bahan baku rotan.
Gusmardi
Bustami, Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan (Kemdag),
mengatakan, selain efek positif pelarangan ekspor bahan baku rotan, kenaikan
nilai ekspor produk rotan dikarenakan oleh tingginya permintaan di
negara-negara maju."Furnitur berbahan baku rotan memiliki keunggulan,
lebih ringan dan tidak membutuhkan banyak tempat," katanya.
Menurut
Gusmardi, Indonesia menjadi salah satu penghasil bahan baku rotan dan bambu
terbesar di dunia. Data statistik Kemdag menunjukkan, lima negara yang paling
berminat terhadap produk rotan Indonesia adalah Amerika Serikat (AS), China,
Jepang, Jerman, dan Belanda. Sementara itu produk bambu Indonesia diminati
pasar di AS, Jerman, Australia, Jepang, dan Prancis.
Ironisnya,
meski pemerintah mengklaim Indonesia sebagai penghasil bahan baku rotan dan
bambu terbesar di dunia, nyatanya, Indonesia hanya menguasai pangsa pasar
produk rotan internasional sebesar 31,67%.
Posisi
Indonesia masih di bawah China yang memiliki pangsa pasar sebanyak 33,45%. Bahkan
untuk produk bambu, Indonesia tertinggal jauh dari China yang menguasai pangsa
pasar 67,82%, sedang Indonesia hanya 6,97%.
Bahan
baku bermasalah
Abdul
Sobur, Sekretaris Jenderal Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia
(AMKRI), juga mengatakan, tahun ini terjadi pertumbuhan ekspor produk rotan
cukup signifikan. "Pada Januari-Februari ekspor produk rotan sudah
mendekati US$ 60 juta," katanya.
Dengan
lonjakan pertumbuhan ekspor tersebut, Sobur memperkirakan ekspor produk rotan
tahun ini akan menembus nilai US$ 200 juta. Jumlah itu lebih besar 25%
dibandingkan realisasi tahun lalu, sebesar US$ 160 juta. Jika tren ini terus
berlanjut, maka selama lima tahun ke depan ekspor produk rotan akan melonjak
dua kali lipat hingga US$ 400 juta.
Hanya
saja, menurut Sobur, target ekspor produk rotan akan tercapai jika suplai bahan
baku dari daerah produksi lancar dan ekonomi AS dan Eropa telah pulih. Tiap
tahun industri mebel dan produk rotan setidaknya membutuhkan pasokan bahan baku
rotan sebanyak 70.000 ton.
Sobur
menambahkan, walau pemerintah telah melarang ekspor rotan mentah dan setengah
jadi, namun bahan baku masih menjadi masalah. Dia bilang, industri mebel rotan
di Jawa, khususnya Cirebon, saat ini masih kesulitan bahan baku. "Para
pemasok rotan beralasan, musim hujan di awal tahun lalu telah membuat para
pengumpul rotan enggan ke hutan mencari rotan," katanya.
Akibat
sulitnya pasokan bahan baku rotan, harga rotan mentah dari para pengumpul di
Kalimantan atau Sumatera naik. Sobur mencontohkan, bila tahun lalu harga rotan
jenis batang dihargai Rp 9.000 per kilogram (kg), kini melonjak 44,4% menjadi
Rp 13.000 per kg.
Hatta
Sinatra, pemilik perusahaan rotan PT Indosurya Mahakam, mengakui, kalau saat
ini telah terjadi kenaikan harga bahan baku rotan di dalam negeri. "Kita
membeli rotan hingga harga Rp 11.000 per kg sampai Rp 12.000 per kg,"
ujarnya.
Pembahasan
A. Perdagangan
Internasional
Perdagangan
internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara
dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang
dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara
individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah
negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu
faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah
terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra,
Amber Road), dampaknya
terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad
belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi,
kemajuan transportasi, globalisasi,
dan kehadiran perusahaan multinasional.
B. Teori Perdagangan Internasional
Menurut Amir M.S., bila
dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan
di dalam negeri, perdagangan internasional
sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena
adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan,
misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor. Selain itu,
kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang,
taksiran dan timbangan, dan hukum
dalam perdagangan.
1. Model Adam Smith
Model Adam Smith ini
memfokuskan pada keuntungan mutlak yang
menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh keuntungan mutlak dikarenakan
negara tersebut mampu memproduksi barang dengan biaya yang lebih rendah
dibandingkan negara lain. Menurut teori ini jika harga barang dengan jenis sama
tidak memiliki perbedaan di berbagai negara maka tidak ada alasan untuk
melakukan perdagangan internasional.
2. Model Ricardian
Model Ricardian
memfokuskan pada kelebihan komparatif dan
mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional.
Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang
mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model
ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh
dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak
secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh
dan modal dalam negara.
3. Model Heckscher-Ohlin
Model Heckscgher-Ohlin
dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan komparatif.
Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak
membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik
pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan
memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional. Teori
ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh
perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini
memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat
penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang
akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris
dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji
empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika
Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding
memiliki kecukupan modal dan sebagainya.
4. Faktor Spesifik
Dalam model ini, mobilitas buruh
antara industri satu dan yang lain sangatlah mungkin ketika modal tidak
bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor spesifik merujuk ke
pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti
modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan
jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi
spesifik ke barang tersebut akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai
tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan
modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk
pengendalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan
bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam
pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk
memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan.
5. Model Gravitasi
Model gravitasi
perdagangan menyajikan sebuah analisis yang lebih empiris dari pola
perdagangan dibanding model yang lebih teoritis diatas. Model gravitasi, pada
bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi
antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini meniru hukum gravitasi
Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik di antara dua benda.
Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisis ekonometri.
Faktor lain seperti tingkat pendapatan, hubungan diplomatik, dan kebijakan
perdagangan juga dimasukkan dalam versi lebih besar dari model ini.
C. Manfaat perdagangan internasional
Menurut
Sadono Sukirno,
manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut.
1.
Menjalin
Persahabatan Antar Negara
2.
Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di
negeri sendiri
Banyak faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut di antaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
Banyak faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut di antaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
3.
Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
4.
Memperluas pasar dan menambah keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
5.
Transfer teknologi modern
Perdagangan luar
negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih
efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.
D. Faktor pendorong
Banyak faktor yang
mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya
sebagai berikut :
1. Faktor Alam/
Potensi Alam
- Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri
- Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara
- Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi
- Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut.
- Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi.
- Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.
- Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain.
- Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.
Perdagangan
internasional bukan hanya bermanfaat di bidang ekonomi saja. Manfaatnya di
bidang lain pada masa globalisasi ini juga semakin terasa. Bidang itu antara
lain politik,sosial, dan pertahanan keamanan. Di bidang ekonomi, perdagangan
internasional dilakukan semua negara untuk memenuhikebutuhan rakyatnya. Negara
dapat diibaratkan manusia, tidak ada manusia yang bisahidup sendiri, tanpa
bantuan orang lain. Begitu juga dengan negara, tidak ada negara yangbisa
bertahan tanpa kerja sama dengan negara lain. Negara yang dahulu menutup diri
dariperdagangan internasional, sekarang sudah membuka pasarnya. Misalnya,
Rusia, China, danVietnam. Perdagangan internasional juga memiliki fungsi
sosial. Misalnya, ketika harga bahanpangan dunia sangat tinggi. Negara-negara
penghasil beras berupaya untuk dapatmengekspornya. Di samping memperoleh
keuntungan, ekspor di sini juga berfungsi secarasosial. Jika krisis pangan
dunia terjadi, maka bisa berakibat pada krisis ekonomi. Akibatberantainya akan
melanda ke semua negara. Pada era globalisasi ini banyak muncul perusahaan
multi nasional. Perusahaan sepertiini sahamnya dimiliki oleh beberapa orang
dari beberapa negara. Misalnya, saham telkomseldimiliki oleh beberapa orang
dari Indonesia dan Singapura. Perusahaan multi nasional sepertiini dapat
mempererat hubungan sosial antar bangsa. Di dalamnya banyak orang dari berbagainegara
saling bekerja sama. Maka terjadilah persabatan di antara mereka. Perdagangan
internasional juga bermanfaat di bidang politik. Perdagangan antar negarabisa
mempererat hubungan politik antar negara. Sebaliknya, hubungan politik juga
bisamempererat hubungan dagang. Perdagangan internasional juga berfungsi untuk
pertahanan keamanan. Misalnya, suatunegara nonnuklir mau mengembangkan senjata
nuklir. Negara ini dapat ditekan dengandikenai sanksi ekonomi. Artinya, negara
lain tidak diperbolehkan menjalin hubungan dagangdengan negara tersebut.
Biasanya upaya seperti ini harus dengan persetujuan PBB. Hal inidilakukan demi
terciptanya keamanan dunia. Perdagangan internasional juga terkait dengan
pertahanan suatu negara. Setiap negaratentu membutuhkan senjata untuk
mempertahankan wilayahnya. Padahal, tidak semua negaramampu memproduksi
senjata. Maka diperlukan impor senjata. Untuk mencegah perdagangan
barang-barang yang membahayakan, diperlukan kerjasama internasional. Barang
yang membahayakan tersebut misalnya senjata gelap, obat-obatanterlarang, hewan
langka, ternak yang membawa penyakit menular, dsb. Untuk kepentinganinilah
pemerintah semua negara memiliki bea cukai. Instansi ini dibentuk
pemerintahsuatu negara untuk memeriksa barang-barang dan bagasi ketika memasuki
suatu negara.Pemeriksaan ini diperlukan untuk melihat apakah pajaknya telah
dibayar. Pemeriksaan jugauntuk mengecek barang-barang tersebut barang
selundupan ataupun barang terlarang atautidak. Cara yang digunakan dalam
pemeriksaan antara lain dengan melihat dokumen barang,menggunakan detektor
barang berbahaya, atau menggunakan anjing pelacak.
E. Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional
Umumnya
perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilateral
antara dua negara. Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam Merkantilisme
kebanyakan negara memiliki tarif
tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad ke 19,
terutama di Britania,
ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi yang terpenting dan
pandangan ini mendominasi pemikiran di antaranegara barat untuk beberapa waktu
sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar Britania. Pada
tahun-tahun sejak Perang Dunia II, perjanjian multilateral
kontroversial seperti GATT dab WTO memberikan usaha untuk
membuat regulasi lobal dalam perdagangan internasional. Kesepakatan perdagangan
tersebut kadang-kadang berujung pada protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari
perdagangan yang tidak adil yang tidak menguntungkan secara mutual.
Perdagangan bebas
biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara yang berekonomi kuat,
walaupun mereka kadang-kadang melakukan proteksi selektif untuk
industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur
oleh Amerika Serikat dan Eropa. Belanda
dan Inggris Raya
keduanya mendukung penuh perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis
dominan, sekarang Amerika Serikat, Inggris, Australia
dan Jepang
merupakan pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti
India, Rusia, dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas karena telah
menjadi kuat secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan
untuk menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar negri langsung,
pembelian, dan fasilitasi perdagangan.
Wujud lain dari biaya transaksi
dihubungkan dnegan perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.
Umumnya
kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari perdagangan bebas dan sektor
manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini telah berubah pada beberapa
tahun terakhir, bagaimanapun. Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di Amerika
Serikat, Eropa dan Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk peraturan
tertentu pada perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi lebih
dalam agrikultur dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.
Selama reses ada seringkali
tekanan domestik untuk meningkatkan tarif dalam rangka memproteksi industri
dalam negri. Ini terjadi di seluruh dunia selama Depresi Besar
membuat kolapsnya perdagangan dunia yang dipercaya memperdalam depresi
tersebut.
Regulasi dari
perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade Organization pada
level global, dan melalui beberapa kesepakatan regional seperti MerCOSUR di Amerika
Selatan, NAFTA antara Amerika
Serikat, Kanada
dan Meksiko,
dan Uni Eropa
anatara 27 negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun 2005 membicarakan
pembuatan dari Free Trade Area of America (FTAA) gagal total karena
penolakan dari populasi negara-negara Amerika Latin.
Kesimpulan
Tak
ada rotan akar pun jadi. Peribahasa ini seolah menggambarkan betapa kondisi industri
rotan di Indonesia saat ini sudah mencapai titik yang sangat
memprihatinkan. Betapa tidak, ditengarai terdapat ribuan jenis rotan di
hutan-hutan Indonesia. Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di dunia
yang memiliki sumber rotan begitu melimpah. Sayang sekali, rotan
Indonesia masih saja belum menjadi sesuatu yang bisa mendatangkan
banyak manfaat, terutama untuk pelaku industri rotan
sendiri.
Pelaku
industri rotan, terutama petani rotan Indonesia masih saja hidup di bawah garis
kemiskinan. Tentu menjadi sebuah hal yang sangat ironis ketika melimpahnya
sumber rotan Indonesia tak bisa membawa manfaat bagi mereka secara langsung.
Ditengarai, kebijakan pemerintah membuat rotan Indonesia gagal menjadi sumber
manfaat yang maksimal untuk pelaku industri rotan. Kebijakan pemerintah
terhadap industri rotan Indonesia dipandang sebagai penyebab sekaratnya
industri rotal lokal.
Salah
satu kebijakan pemerintah tentang rotan Indonesia yang dipandang bermasalah
adalah kebijakan ekspor rotan setengah jadi. Peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dipandang sebagai sumber masalah utama dalam
industri rotan nusantara. Betapa tidak, guna menggenjot pemasukan dari sektor
non migas, pemerintah menggalakkan ekpor berbagai hasil bumi tanah air dan
ekspor rotan adalah salah satu dari jenis ekspor yang dipandang sangat
potensial mendatangkan banyak pemasukan buat negara. Sayang sekali, kebijakan
tersebut dijalankan secara serampangan di lapangan.
Pemerintah
gagal membatasi ekspor rotan hingga kebijakan yang seharusnya ditujukan untuk
menggairahkan industri rotan nusantara justru berpotensi menjadi kebijakan yang
mengancam kehidupan industri rotan lokal. Pemerintah memang memberlakukan
larangan ekspor rotan setengah jadi ke luar negeri, akan tetapi di sisi lain,
pemerintah juga mengendorkan larangan tersebut dengan memperbolehkan ekspor
beberapa jenis rotan. Dalam Surat Keputusan Memperindag No 355/MPP/Kep/5/2004,
pemerintah mengijinkan ekspor beberapa jenis rotan seperti rotan manau, rotan
irit dan sega.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar