Kamis, 09 Mei 2013

Persaingan Harga Produk Dalam Negeri Versus Harga Produk Luar Negeri dilihat dari tingginya biaya produksi

Ekspor rotan setengah jadi vs industri rotan lokal

Abstrak

Perkembangan rotan Indonesia tidak kunjung mengarah perbaikan. Data ekspor rotan Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penyusutan. Sekilas balik sejarah awal kemunduran industri rotan dimulai dari negara Jerman. Kerajinan rotan asal Indonesia masuk ke benua Eropa diperkenalkan oleh negara-negara eropa seperti Perancis, Inggris dan Belanda. Para buyers di negara-negara tersebut mengimpor kerajinan rotan dari negara di kawasan Asia Tenggara. Indonesia salah satu pemasok ekspor kerajinan rotan terbesar. Prosentase hampir mencapai 80 persen dari total perdagangan internasional. Para buyers memanfaatkan industri rotan lokal. Para buyers memesan kerajinan rotan dari industri rotan lokal yang belum bermerek.
Industri rotan lokal menyambut baik penawaran dari para buyers. Dalam definisi perdagangan industri, istilah produk yang belum bermerek disebut produk stengah jadi. Karena pesanan dari para buyers begitu banyak, bermunculan industri rotan di daerah-daerah. Mereka saling bekerja sama memproduksi kerajinan rotan setengah jadi. Daerah industri rotan tersebut antara lain Cirebon, Bekasi dan Tangerang.
Jerman merupakan negara yang Pendapatan Domestik Bruto (PDB) ditopang oleh barang ekspor. Jerman terkenal dengan kemajuan teknologi di bidang industri yang tinggi dan canggih. Kerajinan rotan bermerek yang dibuat oleh negara tetangga di benua Eropa menyerbu pasar dalam negeri Jerman. Jerman membuat proteksi industri rotan di dalam negeri dengan sistem buka tutup. Tujuannya, industri rotan di dalam negeri tidak hancur. Jerman berhasil membuat rotan sintetis. Rotan sintetis ini dapat mensubstitusi kerajinan rotan bermerek asal negara-negara Eropa. Jerman berhasil menjual rotan sintetis. Konsumen di dalam negeri maupun luar negeri menerima dengan baik produk rotan sintetis ini. Ekspor rotan sintetis asal Jerman berkembang terus-menerus.
Titik awal kehancuran kerajinan rotan bermerek asal negara Eropa dimulai dari sini. Para buyers menghentikan pembelian kerajinan rotan setengah jadi. Di samping lesunya perdagangan internasional kerajinan rotan, Indonesia mengalami tekanan internasional dari pemerhati lingkungan. Pemerhati lingkungan menyerang Indonesia tentang deforestation. Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan tentang produk hutan dan hasil hutan. Pelarangan produk hutan dan hasil hutan dalam bentuk mentah atau setengah jadi diberlakukan oleh pemerintah.
Ekspor rotan Indonesia mengalami penurunan terus-menerus. Kerajinan rotan yang berasal dari industri lokal satu persatu bertumbangan. Kerajinan rotan setengah jadi menumpuk di gudang. Pekebun rotan di Kalimantan, Sulawesi hanya menumpuk rotan mentah di tempat penampungan. Tidak ada pengepul yang mau mengambil rotan mentah dari pekebun. Biaya operasional terlalu mahal dibandingkan dengan penerimaan. Kerajinan rotan dari industri rotan lokal tidak bisa berproduksi karena bahan baku rotan mentah terbatas dan harga rotan mentah mahal.
Pemulihan kejayaan ekspor rotan Indonesia seperti dulu tidak mudah dilakukan oleh pemerintah. Pasar kerajinan rotan Indonesia mengalami kerusakan yang parah. Jika Indonesia mampu mengembalikan hutan seperti semula, mungkin konsumen luar negeri mau merespon kerajinan rotan Indonesia dengan baik. Pemerintah Indonesia harus meyakinkan pada dunia bahwa produk rotan Indonesia ramah lingkungan. Harapannya, konsumen luar negeri mau membeli kerajinan rotan Indonesia dengan harga yang kompetitif.


Pendahuluan

Tak ada rotan akar pun jadi. Peribahasa ini seolah menggambarkan betapa kondisi industri rotan di Indonesia saat ini sudah mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Betapa tidak, ditengarai terdapat ribuan jenis rotan di hutan-hutan Indonesia. Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di dunia yang memiliki sumber rotan begitu melimpah. Sayang sekali, rotan Indonesia masih saja belum menjadi sesuatu yang bisa mendatangkan banyak manfaat, terutama untuk pelaku industri rotan sendiri.
Pelaku industri rotan, terutama petani rotan Indonesia masih saja hidup di bawah garis kemiskinan. Tentu menjadi sebuah hal yang sangat ironis ketika melimpahnya sumber rotan Indonesia tak bisa membawa manfaat bagi mereka secara langsung. Ditengarai, kebijakan pemerintah membuat rotan Indonesia gagal menjadi sumber manfaat yang maksimal untuk pelaku industri rotan. Kebijakan pemerintah terhadap industri rotan Indonesia dipandang sebagai penyebab sekaratnya industri rotal lokal.
Salah satu kebijakan pemerintah tentang rotan Indonesia yang dipandang bermasalah adalah kebijakan ekspor rotan setengah jadi. Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dipandang sebagai sumber masalah utama dalam industri rotan nusantara. Betapa tidak, guna menggenjot pemasukan dari sektor non migas, pemerintah menggalakkan ekpor berbagai hasil bumi tanah air dan ekspor rotan adalah salah satu dari jenis ekspor yang dipandang sangat potensial mendatangkan banyak pemasukan buat negara. Sayang sekali, kebijakan tersebut dijalankan secara serampangan di lapangan.
Pemerintah gagal membatasi ekspor rotan hingga kebijakan yang seharusnya ditujukan untuk menggairahkan industri rotan nusantara justru berpotensi menjadi kebijakan yang mengancam kehidupan industri rotan lokal. Pemerintah memang memberlakukan larangan ekspor rotan setengah jadi ke luar negeri, akan tetapi di sisi lain, pemerintah juga mengendorkan larangan tersebut dengan memperbolehkan ekspor beberapa jenis rotan. Dalam Surat Keputusan Memperindag No 355/MPP/Kep/5/2004, pemerintah mengijinkan ekspor beberapa jenis rotan seperti rotan manau, rotan irit dan sega.
Kebijakan ini awalnya dipandang sebagai langkah mendatangkan devisa dengan menjual rotan tanpa mengancam kelangsungan industri kerajinan rotan di tanah air. Sayang sekali, pada akhirnya, kelangsungan industri kerajinan rotan, termasuk mebel justru terancam karena langkanya bahan baku. Kerajinan rotan sangat membutuhkan pasokan rotan untuk berproduksi sementara produsen rotan setengah jadi lebih memilih menjual ke pasar luar negeri dengan alasan ekonomi, perputaran uang yang lebih cepat. Menjual ke pasar lokal membuat mereka harus memutarkan pasokan rotan mereka ke beberapa industri kerajinan rotan, sementara dengan mengekspor, rotan dalam jumlah besar akan terjual dalam waktu singkat.
Tak pelak lagi, industri rotan, dalam hal ini sektor industri kerajinan rotan terancam kelangkaan bahan baku. Perlahan tapi pasti, tanpa ada sebuah langkah tegas dari pemerintah, industri rotan di Indonesia akan mengalami kehancuran. Penjualan rotan setengah jadi secara besar-besaran akan menutup peluang industri rotan tanah air untuk berkembang. Semakin langkannya industri rotan, baik kerajinan maupun mebel akan membuat kita (suatu saat) harus mengimpor sendiri kerajinan rotan dan mebel dari pasar luar negeri. Kesalahan industri minyak bumi tampaknya mungkin terjadi pada industri rotan kita.





Landasan Teori

Selama enam bulan pertama tahun ini, telah terjadi kenaikan ekspor produk rotan sebanyak 15,31%. Jika pada periode yang sama tahun lalu nilai ekspor produk rotan hanya mencapai US$ 82 juta, semester I-2012 naik menjadi US$ 97,24 juta.
Kenaikan itu merupakan efek dari ketentuan ekspor rotan dan produk rotan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 35/M-DAG/PER/11/2011. Peraturan yang berlaku efektif pada 1 Januari 2012 itu melarang ekspor bahan baku rotan.
Gusmardi Bustami, Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan (Kemdag), mengatakan, selain efek positif pelarangan ekspor bahan baku rotan, kenaikan nilai ekspor produk rotan dikarenakan oleh tingginya permintaan di negara-negara maju."Furnitur berbahan baku rotan memiliki keunggulan, lebih ringan dan tidak membutuhkan banyak tempat," katanya.
Menurut Gusmardi, Indonesia menjadi salah satu penghasil bahan baku rotan dan bambu terbesar di dunia. Data statistik Kemdag menunjukkan, lima negara yang paling berminat terhadap produk rotan Indonesia adalah Amerika Serikat (AS), China, Jepang, Jerman, dan Belanda. Sementara itu produk bambu Indonesia diminati pasar di AS, Jerman, Australia, Jepang, dan Prancis.
Ironisnya, meski pemerintah mengklaim Indonesia sebagai penghasil bahan baku rotan dan bambu terbesar di dunia, nyatanya, Indonesia hanya menguasai pangsa pasar produk rotan internasional sebesar 31,67%.
Posisi Indonesia masih di bawah China yang memiliki pangsa pasar sebanyak 33,45%. Bahkan untuk produk bambu, Indonesia tertinggal jauh dari China yang menguasai pangsa pasar 67,82%, sedang Indonesia hanya 6,97%.

Bahan baku bermasalah
Abdul Sobur, Sekretaris Jenderal Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), juga mengatakan, tahun ini terjadi pertumbuhan ekspor produk rotan cukup signifikan. "Pada Januari-Februari ekspor produk rotan sudah mendekati US$ 60 juta," katanya.
Dengan lonjakan pertumbuhan ekspor tersebut, Sobur memperkirakan ekspor produk rotan tahun ini akan menembus nilai US$ 200 juta. Jumlah itu lebih besar 25% dibandingkan realisasi tahun lalu, sebesar US$ 160 juta. Jika tren ini terus berlanjut, maka selama lima tahun ke depan ekspor produk rotan akan melonjak dua kali lipat hingga US$ 400 juta.
Hanya saja, menurut Sobur, target ekspor produk rotan akan tercapai jika suplai bahan baku dari daerah produksi lancar dan ekonomi AS dan Eropa telah pulih. Tiap tahun industri mebel dan produk rotan setidaknya membutuhkan pasokan bahan baku rotan sebanyak 70.000 ton.
Sobur menambahkan, walau pemerintah telah melarang ekspor rotan mentah dan setengah jadi, namun bahan baku masih menjadi masalah. Dia bilang, industri mebel rotan di Jawa, khususnya Cirebon, saat ini masih kesulitan bahan baku. "Para pemasok rotan beralasan, musim hujan di awal tahun lalu telah membuat para pengumpul rotan enggan ke hutan mencari rotan," katanya.
Akibat sulitnya pasokan bahan baku rotan, harga rotan mentah dari para pengumpul di Kalimantan atau Sumatera naik. Sobur mencontohkan, bila tahun lalu harga rotan jenis batang dihargai Rp 9.000 per kilogram (kg), kini melonjak 44,4% menjadi Rp 13.000 per kg.
Hatta Sinatra, pemilik perusahaan rotan PT Indosurya Mahakam, mengakui, kalau saat ini telah terjadi kenaikan harga bahan baku rotan di dalam negeri. "Kita membeli rotan hingga harga Rp 11.000 per kg sampai Rp 12.000 per kg," ujarnya.

Pembahasan

A.      Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.

B.       Teori Perdagangan Internasional

Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor. Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.

1.    Model Adam Smith

Model Adam Smith ini memfokuskan pada keuntungan mutlak yang menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh keuntungan mutlak dikarenakan negara tersebut mampu memproduksi barang dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan negara lain. Menurut teori ini jika harga barang dengan jenis sama tidak memiliki perbedaan di berbagai negara maka tidak ada alasan untuk melakukan perdagangan internasional.

2.    Model Ricardian

Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara.

3.    Model Heckscher-Ohlin

Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional. Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal dan sebagainya.

4.    Faktor Spesifik

Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangatlah mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk pengendalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan.

5.    Model Gravitasi

Model gravitasi perdagangan menyajikan sebuah analisis yang lebih empiris dari pola perdagangan dibanding model yang lebih teoritis diatas. Model gravitasi, pada bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini meniru hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik di antara dua benda. Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisis ekonometri. Faktor lain seperti tingkat pendapatan, hubungan diplomatik, dan kebijakan perdagangan juga dimasukkan dalam versi lebih besar dari model ini.

C.      Manfaat perdagangan internasional

Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut.
1.    Menjalin Persahabatan Antar Negara
2.    Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
Banyak faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut di antaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
3.    Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
4.    Memperluas pasar dan menambah keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
5.    Transfer teknologi modern
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

D.      Faktor pendorong

Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut :
1.       Faktor Alam/ Potensi Alam
  1. Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri
  2. Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara
  3. Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi
  4. Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut.
  5. Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi.
  6. Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.
  7. Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain.
  8. Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.

Perdagangan internasional bukan hanya bermanfaat di bidang ekonomi saja. Manfaatnya di bidang lain pada masa globalisasi ini juga semakin terasa. Bidang itu antara lain politik,sosial, dan pertahanan keamanan. Di bidang ekonomi, perdagangan internasional dilakukan semua negara untuk memenuhikebutuhan rakyatnya. Negara dapat diibaratkan manusia, tidak ada manusia yang bisahidup sendiri, tanpa bantuan orang lain. Begitu juga dengan negara, tidak ada negara yangbisa bertahan tanpa kerja sama dengan negara lain. Negara yang dahulu menutup diri dariperdagangan internasional, sekarang sudah membuka pasarnya. Misalnya, Rusia, China, danVietnam. Perdagangan internasional juga memiliki fungsi sosial. Misalnya, ketika harga bahanpangan dunia sangat tinggi. Negara-negara penghasil beras berupaya untuk dapatmengekspornya. Di samping memperoleh keuntungan, ekspor di sini juga berfungsi secarasosial. Jika krisis pangan dunia terjadi, maka bisa berakibat pada krisis ekonomi. Akibatberantainya akan melanda ke semua negara. Pada era globalisasi ini banyak muncul perusahaan multi nasional. Perusahaan sepertiini sahamnya dimiliki oleh beberapa orang dari beberapa negara. Misalnya, saham telkomseldimiliki oleh beberapa orang dari Indonesia dan Singapura. Perusahaan multi nasional sepertiini dapat mempererat hubungan sosial antar bangsa. Di dalamnya banyak orang dari berbagainegara saling bekerja sama. Maka terjadilah persabatan di antara mereka. Perdagangan internasional juga bermanfaat di bidang politik. Perdagangan antar negarabisa mempererat hubungan politik antar negara. Sebaliknya, hubungan politik juga bisamempererat hubungan dagang. Perdagangan internasional juga berfungsi untuk pertahanan keamanan. Misalnya, suatunegara nonnuklir mau mengembangkan senjata nuklir. Negara ini dapat ditekan dengandikenai sanksi ekonomi. Artinya, negara lain tidak diperbolehkan menjalin hubungan dagangdengan negara tersebut. Biasanya upaya seperti ini harus dengan persetujuan PBB. Hal inidilakukan demi terciptanya keamanan dunia. Perdagangan internasional juga terkait dengan pertahanan suatu negara. Setiap negaratentu membutuhkan senjata untuk mempertahankan wilayahnya. Padahal, tidak semua negaramampu memproduksi senjata. Maka diperlukan impor senjata. Untuk mencegah perdagangan barang-barang yang membahayakan, diperlukan kerjasama internasional. Barang yang membahayakan tersebut misalnya senjata gelap, obat-obatanterlarang, hewan langka, ternak yang membawa penyakit menular, dsb. Untuk kepentinganinilah pemerintah semua negara memiliki bea cukai. Instansi ini dibentuk pemerintahsuatu negara untuk memeriksa barang-barang dan bagasi ketika memasuki suatu negara.Pemeriksaan ini diperlukan untuk melihat apakah pajaknya telah dibayar. Pemeriksaan jugauntuk mengecek barang-barang tersebut barang selundupan ataupun barang terlarang atautidak. Cara yang digunakan dalam pemeriksaan antara lain dengan melihat dokumen barang,menggunakan detektor barang berbahaya, atau menggunakan anjing pelacak.

E.       Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional

Umumnya perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilateral antara dua negara. Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad ke 19, terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi yang terpenting dan pandangan ini mendominasi pemikiran di antaranegara barat untuk beberapa waktu sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar Britania. Pada tahun-tahun sejak Perang Dunia II, perjanjian multilateral kontroversial seperti GATT dab WTO memberikan usaha untuk membuat regulasi lobal dalam perdagangan internasional. Kesepakatan perdagangan tersebut kadang-kadang berujung pada protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil yang tidak menguntungkan secara mutual.
Perdagangan bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara yang berekonomi kuat, walaupun mereka kadang-kadang melakukan proteksi selektif untuk industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur oleh Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya keduanya mendukung penuh perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis dominan, sekarang Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang merupakan pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti India, Rusia, dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas karena telah menjadi kuat secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan untuk menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar negri langsung, pembelian, dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari biaya transaksi dihubungkan dnegan perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.
Umumnya kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari perdagangan bebas dan sektor manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini telah berubah pada beberapa tahun terakhir, bagaimanapun. Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk peraturan tertentu pada perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi lebih dalam agrikultur dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.
Selama reses ada seringkali tekanan domestik untuk meningkatkan tarif dalam rangka memproteksi industri dalam negri. Ini terjadi di seluruh dunia selama Depresi Besar membuat kolapsnya perdagangan dunia yang dipercaya memperdalam depresi tersebut.
Regulasi dari perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade Organization pada level global, dan melalui beberapa kesepakatan regional seperti MerCOSUR di Amerika Selatan, NAFTA antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, dan Uni Eropa anatara 27 negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun 2005 membicarakan pembuatan dari Free Trade Area of America (FTAA) gagal total karena penolakan dari populasi negara-negara Amerika Latin.



Kesimpulan
Tak ada rotan akar pun jadi. Peribahasa ini seolah menggambarkan betapa kondisi industri rotan di Indonesia saat ini sudah mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Betapa tidak, ditengarai terdapat ribuan jenis rotan di hutan-hutan Indonesia. Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di dunia yang memiliki sumber rotan begitu melimpah. Sayang sekali, rotan Indonesia masih saja belum menjadi sesuatu yang bisa mendatangkan banyak manfaat, terutama untuk pelaku industri rotan sendiri.
Pelaku industri rotan, terutama petani rotan Indonesia masih saja hidup di bawah garis kemiskinan. Tentu menjadi sebuah hal yang sangat ironis ketika melimpahnya sumber rotan Indonesia tak bisa membawa manfaat bagi mereka secara langsung. Ditengarai, kebijakan pemerintah membuat rotan Indonesia gagal menjadi sumber manfaat yang maksimal untuk pelaku industri rotan. Kebijakan pemerintah terhadap industri rotan Indonesia dipandang sebagai penyebab sekaratnya industri rotal lokal.
Salah satu kebijakan pemerintah tentang rotan Indonesia yang dipandang bermasalah adalah kebijakan ekspor rotan setengah jadi. Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dipandang sebagai sumber masalah utama dalam industri rotan nusantara. Betapa tidak, guna menggenjot pemasukan dari sektor non migas, pemerintah menggalakkan ekpor berbagai hasil bumi tanah air dan ekspor rotan adalah salah satu dari jenis ekspor yang dipandang sangat potensial mendatangkan banyak pemasukan buat negara. Sayang sekali, kebijakan tersebut dijalankan secara serampangan di lapangan.
Pemerintah gagal membatasi ekspor rotan hingga kebijakan yang seharusnya ditujukan untuk menggairahkan industri rotan nusantara justru berpotensi menjadi kebijakan yang mengancam kehidupan industri rotan lokal. Pemerintah memang memberlakukan larangan ekspor rotan setengah jadi ke luar negeri, akan tetapi di sisi lain, pemerintah juga mengendorkan larangan tersebut dengan memperbolehkan ekspor beberapa jenis rotan. Dalam Surat Keputusan Memperindag No 355/MPP/Kep/5/2004, pemerintah mengijinkan ekspor beberapa jenis rotan seperti rotan manau, rotan irit dan sega.











Daftar Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar