Jumat, 04 April 2014

Hukum Perikatan


BAB IV

Hukum Perikatan
1.        Pengertian
     Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
     Dalam bahasa Belanda perikatan tersebut verbintenissenrecht. Namun, terdapat perbedaan pendapat dari beberapa ahli hukum dalam memberikan istilah hukum perikatan. Misalnya Wirjono Prodjodikoro dan R. Subekti.
a)    Wijono Prodjodikoro dalam bukunya “ Asas-Asas Hukum Perjanjian”, (bahasa Belanda: het verbintenissenrecht) jadi, verbintenissenrecht oleh Wirjono diterjemahkan menjadi hukum perjanjian bukan hukum perikatan.
b)   R. Subekti tidak menggunakan istilah hukum perikatan, tetapi menggunakan istilah perikatan sesuai dengan judul Buku III KUH Perdata tentang Perikatan. Dalam buku Pokok-Pokok Hukum Perdata, R. Subekti menulis perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab di dalam Buku III KUH Perdata memuat tentang perikatan yang timbul dari :
a.    Persetujuan atau perjanjian,
b.    Perbuatan yang melanggar hukum,
c.    Pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan(zaakwaarnemiing).
Perjanjian dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst, sedangkan hukum perjanjian disebut overeenkomstenrecht. Sementara itu, pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatan dapat terjadi karena perjanjian (kontrak) dan bukan dari perjanjian (dari undang-undang).
Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbul suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini yang dinamakan dengan perikatan.
Dengan kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.

2.        Dasar Hukum Perikatan
     Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1)   Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian),
2)   Perikatan yang timbul undang-undang, dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.    Perikatan terjadi karena undang-undang semata, misalnya kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaka, yaitu hukum kewarisan.
b.    Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia  menurut hukum terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan yang bertentangan dengan hukum (tidak sah).
3)  Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

3.        Azas-azas dalam Hukum Perikatan
     Azas-azas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
3. 1.   Azas Kebebasan Berkontrak         
Azas kebebasan berkontrak terlihat di dalam pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang di buat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membutanya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan sistem terbuka, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjianya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum , dan norma kesusilaan.

3. 2.   Azas konsensualisme
Azas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah sebagai berikut :
a.    Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
b.    Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
c.    Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
d.   Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

4.        Wanprestasi dan akibat-akibatnya
4. 1. Wanprestasi
Sementara itu,wanprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia alpa ( lalai ) atua ingkar janji. Adapun bentuk dari wanprestasi bisa berupa 4 kategori :
1)   tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya,
2)   melaksanakan apa yang dijanjiaknnya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan ,
3)   melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat,
4)   melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Dengan demikian, terhadap kelalaian atau kealapaan debitor sebagai pihak yang melanggar kewajiban, dapat diberikan beberapa sanksi atau hukuman.

4.2. Akibat-Akibat Wanprestasi
Akibat-akibat wanprestasi berupa hukuman atua akibat akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :
1)   Membayar kerugian yang diderita oleh krediitur ( ganti rugi ). Ganti rugi sering   diperinci meliputi tiga unsur , yakni :
a. biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak,
b. rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor,
c. bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2)   Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
     Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
     Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian ertujuan untuk membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu pihak sudah menerima sesuatudari pihak yang lain, baik uang maupun barang maka harus dikembalikan sehingga perjanjian itu ditiadakan.
3)   Peralihan Resiko
     Peralihan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah atu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan pasal 1237 KUH Perdata.

5.    Hapusnya Perikatan
            Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
A.  Pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela,
B.  Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,
C.  Pembaharuan utang,
D.  Perjumpaan utang atau kompensasi,
E.   Percampuran utang,
F.   Pembebasan utang,
G.  Musnahnya barang yang terutang,
H.  Batal atau pembatalan,
I.     Berlakunya suatu syarat batal,
J.     Lewat waktu.

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar