BAB IV
Hukum Perikatan
1.
Pengertian
Perikatan adalah
hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak atau lebih, yakni pihak
yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi,
begitu juga sebaliknya.
Dalam bahasa
Belanda perikatan tersebut verbintenissenrecht. Namun,
terdapat perbedaan pendapat dari beberapa ahli hukum dalam memberikan istilah
hukum perikatan. Misalnya Wirjono Prodjodikoro dan R. Subekti.
a)
Wijono Prodjodikoro dalam bukunya “ Asas-Asas
Hukum Perjanjian”, (bahasa Belanda: het
verbintenissenrecht) jadi, verbintenissenrecht oleh
Wirjono diterjemahkan menjadi hukum perjanjian bukan hukum perikatan.
b)
R. Subekti tidak menggunakan istilah hukum
perikatan, tetapi menggunakan istilah perikatan sesuai dengan judul Buku III
KUH Perdata tentang Perikatan. Dalam buku Pokok-Pokok Hukum
Perdata, R. Subekti menulis perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai
arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab di dalam Buku III KUH
Perdata memuat tentang perikatan yang timbul dari :
a.
Persetujuan atau perjanjian,
b.
Perbuatan yang melanggar hukum,
c.
Pengurusan kepentingan orang lain yang tidak
berdasarkan persetujuan(zaakwaarnemiing).
Perjanjian
dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst,
sedangkan hukum perjanjian disebut overeenkomstenrecht.
Sementara itu, pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatan dapat
terjadi karena perjanjian (kontrak) dan bukan dari perjanjian (dari
undang-undang).
Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak
yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbul suatu
peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini
yang dinamakan dengan perikatan.
Dengan kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian
yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling
banyak menimbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka.
Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.
2.
Dasar
Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP Perdata terdapat tiga sumber
adalah sebagai berikut :
1)
Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian),
2)
Perikatan yang timbul undang-undang, dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Perikatan terjadi karena undang-undang semata,
misalnya kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaka, yaitu
hukum kewarisan.
b.
Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia menurut hukum terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan
yang bertentangan dengan hukum (tidak sah).
3) Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi
terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan
sukarela ( zaakwarneming).
3.
Azas-azas
dalam Hukum Perikatan
Azas-azas
dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
3. 1. Azas
Kebebasan Berkontrak
Azas kebebasan
berkontrak terlihat di dalam pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala
sesuatu perjanjian yang di buat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membutanya.
Dengan demikian,
cara ini dikatakan sistem terbuka, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini
para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjianya dan sebagai
undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum , dan
norma kesusilaan.
3.
2. Azas konsensualisme
Azas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas.
Dengan
demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah sebagai berikut :
a.
Kata Sepakat
antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri,
yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata
dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
b.
Cakap untuk
Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa
para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan
tidak di bawah pengampuan.
c.
Mengenai
Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
d.
Suatu sebab
yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu
harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang,
kesusilaan, atau ketertiban umum.
4.
Wanprestasi
dan akibat-akibatnya
4. 1.
Wanprestasi
Sementara itu,wanprestasi timbul apabila
salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia
alpa ( lalai ) atua ingkar janji. Adapun bentuk dari wanprestasi bisa berupa 4
kategori :
1)
tidak melakukan
apa yang disanggupi akan dilakukannya,
2)
melaksanakan apa
yang dijanjiaknnya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan ,
3)
melakukan apa
yang dijanjikan tetapi terlambat,
4)
melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Dengan
demikian, terhadap kelalaian atau kealapaan debitor sebagai pihak yang
melanggar kewajiban, dapat diberikan beberapa sanksi atau hukuman.
4.2.
Akibat-Akibat Wanprestasi
Akibat-akibat
wanprestasi berupa hukuman atua akibat akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi
, dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :
1) Membayar
kerugian yang diderita oleh krediitur ( ganti rugi ). Ganti rugi sering
diperinci meliputi tiga unsur , yakni :
a.
biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak,
b.
rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor,
c.
bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2) Pembatalan
Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di
dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan
Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian ertujuan
untuk membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian
diadakan. Kalau satu pihak sudah menerima sesuatudari pihak yang lain, baik
uang maupun barang maka harus dikembalikan sehingga perjanjian itu ditiadakan.
3) Peralihan
Resiko
Peralihan resiko adalah kewajiban untuk
memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah atu pihak
yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan pasal 1237 KUH
Perdata.
5. Hapusnya Perikatan
Perikatan itu
bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH
Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai
berikut :
A. Pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian
secara sukarela,
B. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan,
C. Pembaharuan utang,
D. Perjumpaan utang atau kompensasi,
E.
Percampuran
utang,
F.
Pembebasan
utang,
G. Musnahnya barang yang terutang,
H. Batal atau pembatalan,
I.
Berlakunya suatu
syarat batal,
J.
Lewat waktu.
Sumber