BAB 3
Ethical Governance
1.
Governance System
Sistem pemerintahan adalah
sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur pemerintahannya. Sesuai dengan
kondisi negara masing-masing, sistem ini dibedakan menjadi :
Sistem
pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu kestabilan negara
itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena sistem
pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem
pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi
statis. Jika suatu pemerintahan mempunya sistem pemerintahan yang statis,
absolut maka hal itu akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum
minoritas untuk memprotes hal tersebut.
Secara
luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga
tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan,
menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem
pemerintahan yang kontinu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut
turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut.Hingga saat ini
hanya sedikit negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara
menyeluruh.
Secara
sempit,Sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda
pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan
mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.
2.
Budaya Etika
Gambaran mengenai perusahaan,
mencerminkan kepribadian para pimpinannya Budaya etika adalah perilaku yang
etis. Penerapan budaya etika dilakukansecara top-down. Langkah-langkah
penerapan :
a. Penerapan
Budaya
Etika Corporate Credo : Pernyataan ringkas mengenai
nilai-nilai yang dianut dan ditegakkan perusahaan.
1) Komitmen
Internal : Perusahaan terhadap karyawan, karyawan terhadap perusahaan, dan karyawan
terhadap karyawan lain.
2) Komitmen
Eksternal : Perusahaan terhadap pelanggan, perusahaan terhadap pemegang saham,
dan perusahaan terhadap masyarakat
b. Penerapan
Budaya Etika
Program Etika : Sistem yang dirancang dan
diimplementasikan untuk mengarahkan karyawan agar melaksanakan corporate credo.
Contoh : audit etika Kode Etik Perusahaan.
3.
Mengembangkan Struktur Etika Korporasi
Semangat untuk mewujudkan Good
Corporate Governance memang telah dimulai di Indonesia, baik di kalangan
akademisi maupun praktisi baik di sektor swasta maupun pemerintah. Berbagai
perangkat pendukung terbentuknya suatu organisasi yang memiliki tata kelola
yang baik sudah di stimulasi oleh Pemerintah melalui UU Perseroan, UU
Perbankan, UU Pasar Modal, Standar Akuntansi, Komite Pemantau Persaingan Usaha,
Komite Corporate Governance, dan sebagainya yang pada prinsipnya adalah membuat
suatu aturan agar tujuan perusahaan dapat dicapai melalui suatu mekanisme tata
kelola secara baik oleh jajaran dewan komisaris, dewan direksi dan tim
manajemennya. Pembentukan beberapa perangkat struktural perusahaan seperti
komisaris independen, komite audit, komite remunerasi, komite risiko, dan
sekretaris perusahaan adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan efektivitas
“Board Governance”. Dengan adanya kewajiban perusahaan untuk membentuk komite
audit, maka dewan komisaris dapat secara maksimal melakukan pengendalian dan
pengarahan kepada dewan direksi untuk bekerja sesuai dengan tujuan organisasi.
Sementara itu, sekretaris perusahaan merupakan struktur pembantu dewan direksi
untuk menyikapi berbagai tuntutan atau harapan dari berbagai pihak eksternal
perusahaan seperti investor agar supaya pencapaian tujuan perusahaan tidak
terganggu baik dalam perspektif waktu pencapaian tujuan ataupun kualitas target
yang ingin dicapai. Meskipun belum maksimal, Uji Kelayakan dan Kemampuan (fit
and proper test) yang dilakukan oleh pemerintah untuk memilih top pimpinan
suatu perusahaan BUMN adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebutuhan untuk
membangun “Board Governance” yang baik sehingga implementasi Good Corporate
Governance akan menjadi lebih mudah dan cepat.
a. Pengertian
GCG
Mencuatnya skandal keuangan yang melibatkan
perusahaan besar seperti Enron, WorldCom, Tyco, Global Crossing dan yang
terakhir AOL-Warner, menuntut peningkatan kualitas Good Corporate Governance
(GCG), Soegiharto (2005:38) dalam Pratolo (2007:7). Istilah GCG secara luas
telah dikenal dalam dunia usaha. Berikut ini adalah beberapa pengertian GCG :
1) Menurut
Hirata (2003) dalam Pratolo (2007:8), pengertian “CG yaitu hubungan
antara perusahaan dengan pihak-pihak terkait yang terdiri atas pemegang saham,
karyawan, kreditur, pesaing, pelanggan, dan lain-lain. CG merupakan mekanisme
pengecekan dan pemantauan perilaku manejemen puncak”.
2) Menurut
Pratolo (2007:8), “GCG adalah suatu sistem yang ada pada suatu organisasi yang
memiliki tujuan untuk mencapai kinerja organisasi semaksimal mungkin dengan
cara-cara yang tidak merugikan stakeholder organisasi tersebut”.
3) Tanri
Abeng dalam Tjager (2003:iii) menyatakan bahwa “CG merupakan pilar utama
fondasi korporasi untuk tumbuh dan berkembang dalam era persaingan global,
sekaligus sebagai prasyarat berfungsinya corporate leadership yang efektif”.
4) Zaini
dalam Tjager (2003:iv) menambahkan bahwa “CG sebagai sebuah governance system
diharapkan dapat menumbuhkan keyakinan investor terhadap korporasi melalui
mekanisme control and balance antar berbagai organ dalam korporasi, terutama
antara Dewan Komisiaris dan Dewan Direksi”. Secara sederhananya, CG diartikan
sebagai suatu sistem yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan
organisasi.
b. Prinsip-prinsip
dan Manfaat GCG
Prinsip-prinsip GCG merupakan kaedah, norma ataupun
pedoman korporasi yang diperlukan dalam sistem pengelolaan BUMN yang sehat.
Berikut ini adalah prinsip-prinsip GCG yang dimaksudkan dalam Keputusan Menteri
BUMN Nomor: Kep-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktek GCG pada BUMN.
1) Transparansi,
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan
dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
Contohnya mengemukakan informasi target produksi yang akan dicapai dalam
rencana kerja dalam tahun mendatang, pencapaian laba.
2) Kemandirian,
suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan
kepentingan dan pengaruh/ tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat. Misalnya pada perusahaan ini sedang membangun pabrik, tetapi limbahnya
tidak bertentangan dengan UU lingkungan yg dapat merugikan piha lain.
3) Akuntabilitas,
kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan
perusahaan terlaksana secara efektif. Misalnya seluruh pelaku bisnis baik
individu maupun kelompok tidak boleh bekerja asal jadi, setengah-setengah atau
asal cukup saja, tetapi harus selalu berupaya menyelesaikan tugas dan
kewajibannya dengan hasil yang bermutu tinggi.
4) Pertanggungjawaban,
kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
Contohnya dalam hal ini Komisaris, Direksi, dan jajaran manajemennya dalam
menjalankan kegiatan operasi perusahaan harus sesuai dengan kebijakan yang
telah ditetapkan.
5) Kewajaran
(fairness), keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang
timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Misalnya memperlakukan rekanan sebagai mitra, memberi perlakuan yang sama
terhadap semua rekanan, memberikan pelayanan yang terbaik bagi
pelanggan/pembeli, dan sebagainya.
4.
Kode Perilaku
Korporasi (Corporate Code of Conduct)
Kode Etik dalam tingkah laku
berbisnis di perusahaan (Code of Corporate and Business Conduct)” merupakan
implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG ). Kode etik tersebut menuntut karyawan &
pimpinan perusahaan untuk melakukan praktek-praktek etik bisnis yang terbaik di
dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama perusahaan. Apabila prinsip
tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan (corporate culture), maka
seluruh karyawan & pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha
mematuhi “mana yang boleh” dan “mana yang tidak boleh” dilakukan dalam
aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran atas Kode Etik merupakan hal
yang serius, bahkan dapat termasuk kategori pelanggaran hukum.
5.
Evaluasi terhadap Kode Perilaku Korporasi
Dalam setiap code of conduct,
adanya evaluasi terhadap kode perilaku korporasi juga sangat diperlukan, agar
segala kegiatan yang telah dilakukan apakah sudah dijalankan sesuai dengan
prosedur yang sudah ditetapkan. Evaluasi terhadap kode perilaku korporasi dapat
dilakukan dengan melakukan evaluasi tahap awal (Diagnostic
Assessment) dan penyusunan pedoman-pedoman. Pedoman Good Corporate
Governancedisusun dengan bimbingan dari Tim BPKP dan telah diresmikan pada
tanggal 30 Mei 2005.
Dalam mengimplementasikan Good
Corporate Governance, diperlukan instrumen-instrumen yang menunjang, yaitu
sebagai berikut :
a. Code
of Corporate Governance (Pedoman Tata Kelola Perusahaan), pedoman dalam
interaksi antar organ Perusahaan maupun stakeholder lainnya.
b. Code
of Conduct (Pedoman Perilaku Etis), pedoman dalam menciptakan hubungan
kerjasama yang harmonis antara Perusahaan dengan Karyawannya.
c. Board
Manual, Panduan bagi Komisaris dan Direksi yang mencakup Keanggotaan, Tugas,
Kewajiban, Wewenang serta Hak, Rapat Dewan, Hubungan Kerja antara Komisaris
dengan Direksi serta panduan Operasional Best Practice.
d. Sistem
Manajemen Risiko, mencakup Prinsip-prinsip tentang Manajemen Risiko dan
Implementasinya.
e. An
Auditing Committee Contract – arranges the Organization and Management of the
Auditing Committee along with its Scope of Work.
f. Piagam
Komite Audit, mengatur tentang Organisasi dan Tata Laksana Komite Audit serta
Ruang Lingkup Tugas.
Berikut ini langkah yang harus
dilakukan dalam evaluasi terhadap kode perilaku korporasi, yaitu :
a. Pelaporan
Pelanggaran Code of Conduct
Setiap individu berkewajiban melaporkan setiap
pelanggaran atas Code of Conduct yang dilakukan oleh individu lain dengan bukti
yang cukup kepada Dewan Kehormatan. Laporan dari pihak luar wajib diterima
sepanjang didukung bukti dan identitas yang jelas dari pelapor. Dewan
kehormatan wajib mencatat setiap laporan pelanggaran atas Code of Conduct dan
melaporkannya kepada Direksi dengan didukung oleh bukti yang cukup dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dewan kehormatan wajib memberikan perlindungan terhadap
pelapor.
b. Sanksi
Atas Pelanggaran Code of Conduct
Pemberian sanksi Atas Pelanggaran Code of Conduct
yang dilakukan oleh karyawan diberikan oleh Direksi atau pejabat yang berwenang
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberian sanksi Atas Pelanggaran Code of
Conduct yang dilakukan oleh Direksi dan Dewan Komisaris mengacu sepenuhnya pada
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perusahaan serta ketentuan yang
berlaku. Pemberian sanksi dilakukan setelah ditemukan bukti nyata terhadap
terjadinya pelanggaran pedoman ini.
Evaluasi sebaiknya dilakukan secara
rutin sehingga perusahaan selalu berada dalam pedoman dan melakukan koreksi
apabila diketahui terdapat kesalahan.
Sumber
:
Kasus BAB 3
Kasus Mulyana dalam Perspektif
Etika
Salah satu kasus
yang menyita perhatian publik Indonesia pada awal bulan April ini adalah kasus
Mulyana W Kusumah, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diduga melakukan
tindakan usaha penyuapan terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ditinjau dari setting teori
keagenan (agency theory), ada tiga pihak utama yang terlibat dalam kasus ini,
yaitu (1) pihak pemberi kerja berperan sebagai principal, dalam hal ini adalah
rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (2) pihak
penerima kerja untuk menjalankan tugas berperan sebagai agen, dalam hal adalah
KPU, dan (3) pihak independen, dalam hal ini adalah BPK sebagai auditor, yang
perannya diharapkan sebagai pihak independen, berintegritas, dan kredibel,
untuk meyakinkan kepada dua pihak sebelumnya, yaitu pemerintah dan DPR sebagai
pemberi kerja, dan KPU sebagai penerima kerja.
Pemberi kerja mendelegasikan
wewenang dengan ketentuan-ketentuan tertentu, dan KPU telah menjalankan
tugasnya sesuai dengan fakta-fakta empiris.
Berdasar setting teori keagenan di
atas dan mencuatnya kasus Mulyana W Kusumah, maka pertanyaan yang muncul
adalah, etiskah tindakan ketiga pihak tersebut? Artikel ini mencoba menganalisa
dan menyimpulkannya dalam perspektif teori etika.
Etika
Sebagaimana dinyatakan Socrates bahwa yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Benar dari sisi cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai.
Sebagaimana dinyatakan Socrates bahwa yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Benar dari sisi cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai.
Dalam praktik hidup sehari-hari,
teoritisi di bidang etika menjelaskan bahwa dalam kenyataannya, ada dua
pendekatan mengenai etika ini, yaitu pendekatan deontological dan pendekatan
teleological. Pada pendekatan deontological, perhatian dan fokus perilaku dan
tindakan manusia lebih pada bagaimana orang melakukan usaha (ikhtiar) dengan
sebaik-baiknya dan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran untuk mencapai
tujuannya. Sebaliknya, pada pendekatan teleological, perhatian dan fokus
perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana mencapai tujuan dengan
sebaik-baiknya, dengan kurang memperhatikan apakah cara, teknik, ataupun
prosedur yang dilakukan benar atau salah.
Dari teori etika, profesi pemeriksa
(auditor), apakah auditor keuangan publik seperti kasus keuangan KPU maupun
auditor keuangan swasta, seperti pada keuangan perusahaan-perusahaan, baik yang
terdaftar di Bursa Efek Jakarta maupun tidak, diatur dalam sebuah aturan yang
disebut sebagai kode etik profesi akuntan.
Dalam kode etik profesi akuntan ini
diatur berbagai masalah, baik masalah prinsip yang harus melekat pada diri
auditor, maupun standar teknis pemeriksaan yang juga harus diikuti oleh
auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan komunikasi atau interaksi.
Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan masalah prinsip bahwa auditor
harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan moralitas,
seperti bertanggungjawab (responsibilities), berintegritas (integrity),
bertindak secara objektif (objectivity) dan menjaga independensinya terhadap
kepentingan berbagai pihak (independence), dan hati-hati dalam menjalankan
profesi (due care). Dalam konteks kode etik profesi akuntan inilah, kasus
Mulyana W Kusumah bisa dianalisis, apakah tindakan mereka (ketiga pihak),
melanggar etika atau tidak.
Tindakan Auditor BPK
Dalam konteks kasus Mulyana W Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusumah, walaupun dengan tujuan 'mulia', yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU.
Dalam konteks kasus Mulyana W Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusumah, walaupun dengan tujuan 'mulia', yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU.
Tujuan yang benar, etis, dan
moralis, yakni untuk mengungkapkan kemungkinan adanya kerugian yang diterima
oleh pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang
direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK, harus dilakukan
dengan cara-cara, teknik, dan prosedur profesi yang menjaga, menjunjung,
menjalankan dan mendasarkan pada etika profesi.
Dari sudut pandang etika profesi,
auditor tampak tidak bertanggungjawab, yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan
uang untuk menjalankan profesinya. Auditor juga tidak punya integritas ketika
dalam benaknya sudah ada pemihakan pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja
dengan berkesimpulan bahwa telah terjadi korupsi. Dari sisi independensi dan
objektivitas, auditor BPK sangat pantas diragukan. Berdasar pada prinsip
hati-hati, auditor BPK telah secara serampangan menjalankan profesinya.
Apa yang harus dilakukan auditor
BPK adalah bahwa dengan standar teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK
harus bisa secara cermat, objektif, dan benar mengungkapkan bagaimana aliran
dana tersebut masuk ke KPU dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau
dibelanjakan. Dengan teknik dan prosedur yang juga telah diatur dalam profesi
akuntan, pasti akan terungkap hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau
memang terjadi. Tampak sekali bahwa auditor BPK tidak percaya terhadap
kemampuan profesionalnya, sehingga dia menganggap untuk mengungkap kebenaran
bisa dilakukan segala macam cara, termasuk cara-cara tidak etis, sekaligus
tidak moralis sebagaimana telah terjadi, yaitu dengan jebakan.
Etiskah Tindakan KPU?
Sama saja dengan auditor BPK, tindakan KPU merupakan tindakan tidak etis dan juga tidak moralis. Secara alami (natural) dan normatif, pihak penerima kerja (agen) akan dengan senang hati untuk diaudit (diperiksa) untuk meyakinkan pada pihak pemberi kerja (principal), dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Amanat dalam bentuk dana yang diberikan oleh pricipal akan dan telah digunakan, dibelanjakan, dan dikelola dengan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran, etis, dan moralis.
Sama saja dengan auditor BPK, tindakan KPU merupakan tindakan tidak etis dan juga tidak moralis. Secara alami (natural) dan normatif, pihak penerima kerja (agen) akan dengan senang hati untuk diaudit (diperiksa) untuk meyakinkan pada pihak pemberi kerja (principal), dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Amanat dalam bentuk dana yang diberikan oleh pricipal akan dan telah digunakan, dibelanjakan, dan dikelola dengan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran, etis, dan moralis.
Dengan melakukan imbalan sejumlah
uang dalam pertemuannya dengan auditor BPK, maka ada indikasi kuat KPU telah
bertindak tidak etis, tidak benar, dan tidak moralis yang ujungnya adalah
dugaan korupsi.
KPU tampaknya tidak paham bagaimana
menempatkan diri sebagai penerima dan yang menjalankan amanah. Mengapa tindakan
KPU dalam menjalankan amanah pemberi kerja harus diaudit, tampaknya tidak
dipahami oleh yang bersangkutan. Ada kesan bahwa audit adalah proses yang
hampir pasti mencari (sering dipapahami mencari-cari) dan menemukan sejumlah
kesalahan, kecurangan, ataupun tindakan korupsi yang bisa diatur dan ditentukan
semaunya oleh auditor.
Kalau di KPU pengelolaan sejumlah
dana telah dilakukan dengan benar, akuntabel, transparan, dan bertanggungjawab,
maka tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan sehingga muncul inisiatif
untuk menggunakan sejumlah uang dalam rangka mencapai 'aman' pada proses
pemeriksaan. Ataukah memang telah terjadi kecurangan, kebohongan, dan korupsi,
sehingga KPU harus menggunakan sejumlah uang untuk main mata dengan pihak
auditor BPK?
Memang santer didengar oleh
masyarakat bahwa semua proses pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh BPK, BPKP,
Irjen, Bawasda, maupun pihak lain-lain, sering menggunakan sejumlah uang untuk
mencapai rasa 'aman' atas tindakan pengelolaan uang.
Tindakan Pemberi Kerja
Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan kepada pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Atas kasus Mulyana W Kusumah, etiskah tindakan pihak pemberi kerja, pemerintah Indonesia, DPR dan KPK?
Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan kepada pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Atas kasus Mulyana W Kusumah, etiskah tindakan pihak pemberi kerja, pemerintah Indonesia, DPR dan KPK?
Secara teoritis-normatif, ketika
pemberi kerja mempercayakan pengelolaan sejumlah aset atau dana kepada pihak
kedua, maka pihak pemberi kerja seharusnya juga menyampaikan paket sistem
informasi guna memonitor dan mengendalikan tindakan penerima kerja secara
rutin. Tidakkah pemberi kerja paham akan adanya information assymetri?, yaitu
penerima kerja mempunyai informasi yang jauh lebih lengkap, baik kualitas
maupun jumlahnya dalam mengelola aset atau dana yang berasal dari pemberi
kerja?
Dalam situasi seperti ini, maka
pihak ketiga (auditor) harus disewa untuk meyakinkan bahwa pihak penerima kerja
telah menjalankan tanggungjawabnya dengan benar, transparan, dan akuntabel.
Secara periodik, pihak pemberi
kerja seharusnya minta informasi, baik dari penerima kerja maupun dari pihak
auditor. Dari uraian ini, kita bisa jawab bahwa baik pemerintah (diwakili
Menteri Keuangan) dan DPR tidak menjalankan fungsinya sebagai pemberi kerja.
Sekilas tindakan ini mengesankan tindakan yang tidak etis. Andaikan proses
pemberian kerja yang diikuti dengan aliran uang ke KPU kemudian ada aliran uang
keluar dari KPU (belanja) dimonitor dengan benar, transparan dan akuntabel,
tindakan kecurangan, termasuk kemungkinan korupsi yang bisa jadi dilakukan
penerima kerja (KPU), bisa dicegah dengan optimal.
Butuh Waktu
Belajar dari kasus Mulyana W Kusumah, tampaknya rakyat Indonesia masih harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk memperoleh pemerintahan yang kredibel, akuntabel, dan transparan, sehingga tidak terjadi kecurangan atau korupsi. Mengapa demikian, sebab untuk menjadi pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan, banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, dan dilaksanakan, dan semua ini butuh waktu dan melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Seandainya saja, pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan dan DPR sebagai pemberi kerja dan penyalur dana mempunyai kemampuan teknis bagaimana meyakinkan bahwa dana yang disalurkan telah dikelola dengan benar, transparan, dan akuntabel oleh penerima kerja, maka pencegahan korupsi bisa dijalankan.
Belajar dari kasus Mulyana W Kusumah, tampaknya rakyat Indonesia masih harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk memperoleh pemerintahan yang kredibel, akuntabel, dan transparan, sehingga tidak terjadi kecurangan atau korupsi. Mengapa demikian, sebab untuk menjadi pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan, banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, dan dilaksanakan, dan semua ini butuh waktu dan melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Seandainya saja, pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan dan DPR sebagai pemberi kerja dan penyalur dana mempunyai kemampuan teknis bagaimana meyakinkan bahwa dana yang disalurkan telah dikelola dengan benar, transparan, dan akuntabel oleh penerima kerja, maka pencegahan korupsi bisa dijalankan.
Seandainya saja penerima kerja
sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa dana yang diterima atau disalurkan
pemerintah merupakan dana dari rakyat dan karenanya harus dikelola dan
dipertanggungjawabkan dengan benar, transparan dan akuntabel, maka satu poin
lagi korupsi bisa dikurangi secara sistematis.
Adaikan saja, auditor di seluruh
Indonesia, termasuk dari BPK sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa
berat memegang amanah dari rakyat untuk meyakinkan bahwa dana atau uang dari
rakyat yang dikelola berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya secara
benar, akuntabel, dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk memberantas
korupsi di negeri ini. (Dr Muchamad Syafruddin MSi Akt, dosen FE Undip)
Tulisan ini diambil dari Suara
Merdeka, 27 April 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar